Minggu, 30 April 2017



MAKALAH PENDIDIKAN HAM
JENIS PELANGGARAN HUKUM DAN HAM
OLEH KELOMPOK 5
SEMESTER II A


Mata  Kuliah                           : Pendidikan HAM
Pengampu  Mata  Kuliah                  : Drs. A. Sudirman, M. H.


Disusun oleh:
1.      Andro Catur Mahardika       (1653053027)
2.      Nabila Ayu                             (1613053050)
3.      Pratiwi                                     (1653053017)
4.      Sopiah                                     (1613053033)
5.      Yolanda Alif Tasya               (1613053044)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR S1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Jenis Pelanggaran Hukum Dan Ham” telah dapat diselesaikan. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan HAM.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

                                                                                    Metro, 22 Maret 2017

                                                                                                            Penyusun 













DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL……………………………………………….           i
KATA PENGANTAR  ……………………………………………                       ii
DAFTAR ISI……………………………………………………..           iii

BAB I    PENDAHULUAN
                      1.1  Latar Belakang………………………………….…………          1
          1.2  Rumusan Masalah  …………………………..…………          1
                      1.3  Tujuan  ……………………………………………………          2

BAB II     PEMBAHASAN
2.1  Jenis-jenis Pelanggaran Hukum dan HAM…….……… .           3
2.2  Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran
       Hukum dan HAM………………………………………            11
2.3  Upaya Penegakan Hukum dan HAM……………………          13
2.4.  Hambatan Penegakan Hukum dan HAM
   di Indonesia  ……………………………………………          16

BAB III   PENUTUP
                        3.1  Kesimpulan…………………………………………….         22
                        3.2   Saran  ……………………………………………………         22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………          23
LAMPIRAN





BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama, karena Hak Asasi Manusia itu merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Didalam pemenuhan HAM pada dirinya sendiri tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya. Bahkan banyak orang yang melanggar hukum karena terlalu mementingkan haknya sendiri. Jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM ini sangat banyak ragamnya. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi karena berbagai faktor.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang penegakan hukum dan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM didirikan sebagai upaya menunjang komitmen penegakan hukum dan HAM yang lebih optimal.  Namun seiring dengan kemajuan ini, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM ini. Maka dari itu penegakan HAM seakan sulit untuk dilakukan. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.

1.2   Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM?
2.      Apa sajakah faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM?
3.      Bagaimanakah upaya penegakan hukum dan HAM?
4.      Apakah yang menghambat penegakan hukum dan HAM?

1.3   Tujuan
1.      Untuk mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
2.      Untuk menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3.      Untuk menganalisa upaya penegakan hukum dan HAM.
4.      Untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum dan HAM.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Jenis-jenis Pelanggaran Hukum dan HAM
Pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Pelanggaran HAM dimulai ketika hak dan kewajiban tidak berjalan secara seimbang. Apabila suatu kewajiban untuk memberikan hak kepada orang lain tidak dilakukan, maka disitu lah terjadi pelanggaran HAM (Samawi, 2007).
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Rachmatika, 2014).
Jadi pelanggaran hukum dan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau lembaga dengan sengaja atau tidak sengaja dapat menghambat, mengurangi, membatasi, mencabut, dan atau merampas hak dari orang lain sehingga dapat merendahkan derajat dan martabat manusia. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang direncanakan dan dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melanggar hukum dan HAM (Samawi, 2007).
Contohnya: seorang pengendara sepeda motor atau mobil sengaja melanggar rambu lampu merah di persimpangan jalan. Pelanggaran hukum dan ham yang dilakukan tanpa sengaja adalah semua perbuatan yang karena kelalainnya dapat mengakibatkan pelanggaran. Contohnya, penjaga palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga mengakibatkan korban mobil beserta seluruh penumpangnya (Samawi, 2007).
Pelanggaran hukum dan HAM dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)      Pelanggaran hukum dan HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan, yakni pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya apabila tidak segera diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh masyarakat dan sebagainya (Faruq, 2015).
Pelanggaran ham ringan sering dilakukan orang tetapi tidak dirasakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ringan tersebut terkait dengan pola budaya dan kebiasaan perilaku masyarakat. Misalnya, kebiasaan tidak mau antri, menyeberang tidak pada tempatnya, membuang sampah tidak pada tempatnya. Akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran hukum dan HAM ringan ini memang tidak begitu dirasakan oleh orang lain tetapi membuat tidak ada ketertiban (Samawi, 2007).
Pelanggaran hukum dan HAM ringan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dilakukan oleh siapa saja. Hal ini dapat terjadi karena sanksinya tidak begitu tegas dan tidak berat sehingga para pelaku merasakan bukan sebagai suatu pelanggaran (Samawi, 2007).






b)      Pelanggaran Hukum dan HAM berat
Pelanggaran HAM berat, yakni pelanggaran HAM yang bersifat berbahaya, dan mengancam nyawa manusia, seperti halnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan, perbudakan, penyanderaan dan lain sebagainya (Faruq, 2015).
Berbagai pelanggaran HAM di bidang sosial publik dimulai dari tindakan manusia mengeksploitasi alam menimbulkan kerusakan ekologi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menjaga kelestarian dan kelangsungan alami akan merusak sumber daya alam dan sumber daya hayati. Akibatnya menimbulkan kerusakan ekosistem yang hebat sehingga hak public untuk menikmati kehidupan ekosistem yang sehat menjadi terganggu (Samawi, 2007).
Pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni :
1.      Kejahatan Genosida. Merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh maupun sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, maupun agama dengan cara:
a)      Membunuh setiap anggota kelompok.
b)      Mengakibatkan terjadinya penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok.
c)      Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang bisa mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d)     Memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke dalam kelompok yang lain.


2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :
a)      Pembunuhan.
b)      Pemusnahan.
c)      Perbudakan.
d)     Pengusiran atau pemindahan penduduk yang dilakukan secara paksa.
e)      Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain dengan sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f)       Penyiksaan.
g)      Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h)      Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu maupun perkumpulan yang didasari dengan persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i)        Penghilangan orang secara paksa.
j)        Kejahatan apartheid, yakni sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh suatu pemerintahan bertujuan untuk melindungi hak istimewa dari suatu ras atau bangsa.
Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di atas pada dasarnya adalah bentuk pelanggaran kepada hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Selain itu pula, pelanggaran HAM berat merupakan bentuk penghinaan terhadap harkat, derajat dan martabat manusia (Faruq, 2015).

Ada berbarapa kasus pelangaran HAM yang terjadi di Indonesia. Jika dilihat dari perspektif Pancasila, pelanggaran HAM tentu saja bertentangan dengan nilai-nillai Pancasila. Kasus pelanggaran HAM dapat saja merupakan penyimpangan terhdap salah satu sila, tetapi perlu diingat bahwa sila-sila Pancasila saling terkait satu sama lain. Itulah sebabnya, penyimpangan terhadap salah satu sila dapat menjadi penyimpangan terhadap sila-sila yang lain (Kardiman, 2015). Contoh-contohnya:
1.      Pelanggaan HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pelanggaran dalam hal ini dapat berupa pelanggaran hak kemerdekaan untuk memeluk agama, melaksanakan ibadah, dan menghormati perbedaan agama. Contoh pelanggarannya yaitu peristiwa Tanjung Periok pada tahun 1984. Peristiwa itu dipicu oleh masalah SARA. Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara lain: pengeroyokan, menimbulkan rasa takut, perusakan dan pembakaran terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko, apotek dan kendaraan bermotor (Kardiman, 2015).

2.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pelanggaran dapat berupa perlakuan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Contoh pelanggarannya yaitu: Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior pada tahun 2001 dan peristiwa Wamena pada tahun 2003 di Papua. Pada peristiwa Keusuhan Mei 1998 terjadi berbagai tindakan pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan. Kerusuhan itu terjadi di beberapa wilayah seperti Jakarta, Solo, Lampung, Bandung, Surabaya dan Medan (Kardiman, 2015).


Empat tahun kemudian terjadi peristiwa Wasior. Pada peristiwa ini diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil. Sementara itu peristiwa Wamena diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, pengusiran penduduk, perampasan penduduk, perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang dan penyiksaan (Kardiman, 2015).

3.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Persatuan Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa tindakan yang tidak mengakui hak akan kebersamaan sebagai suatu bangsa dan tidak menghargai perbedaan. Contohnya: peristiwa Aceh pada tahun 1990-1998. Pada sekitar 1989-1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ketika Gerakan Pengacu Keamanan tidak lagi bisa teratasi, maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa itu pelanggaran HAM terjadi, seperti pembunuhan massal, penculikan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan pembakaran desa (Kardiman, 2015).
 Selain peristiwa Aceh, peristiwa di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat 1999 juga termasuk pelanggaran HAM. Pada saat itu banyak terjadi pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan, pengungsian paksa, serta pembumihangusan. Akibatnya, tidak sedikit penduduk sipil terbunuh dan luka-luka (Kardiman, 2015).



4.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pelanggaran ini dapat terjadi ketika penyelesaian masalah bersama melupakan musyawarah yang mengutamakan partisipasi publik dalam menyuarakan aspirasi mereka dan melupakan musyawarah yang mengutamakan kepentingan bersama. Contohnya yaitu Tragedi Trisakti I dan Semanggi II. Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Pada saat itu, ada 4 orang mahasiswa tewas tertembak. Tragedi ini dilatarbelakangi oleh kondisi perekonomian yang goyah akibat dampak  krisis finansial Asia pada awal 1998. Kondisi ini mengantar para mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi yang mengarah agar Presiden Soeharto mengundurkan diri (Kardiman, 2015).
 Beberapa bulan setelah tragedi ini, terjadi pula Tragedi Semanggi I yang mana terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menolak Sidang Istimewa MPR. Tragedi ini telah menewaskan belasan orang, baik warga sipil ataupun mahasiswa. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan Tragedi Semanggi II, dimana pada tanggal 23 September 1999 mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menentang pemberlakuan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB). Tampaknya pada ketiga tragedi tersebut, ada pelanggaran hak menyampaikan pendapat (Kardiman, 2015).

5.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa perlakuan yang tidak adil dan seimbang dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Contohnya yaitu kasus Marsinah pada 1993. Marsinah adalah seorang karyawati PT CPS. Marsinah sangat gigih membela HAM kaum buruh. Karena perjuangannya itu, Marsinah disiksa dan dianiaya. Hal ini membuat dia meninggal dunia. Kegigihan ini membuat dia menerima Yap Thiam Hien Award (Kardiman, 2015).
Bentuk pelanggaran hak asasi manusia di dalam keluarga antara lain dapat ditemukan dalam berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam RumAh Tangga menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Kardiman, 2015).
Contoh kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
a.       Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
b.      Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakuan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c.       Kekerasan seksual.
d.      Penelantaran rumah tangga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Di dalam dunia pendidikan bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat ditemukan dalam kegiatan masa orentasi siswa yang memunculkan kekerasan, tawuran dan bullying. Bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain (Kardiman, 2015).
Di dalam masyarakat bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat ditemukan dalam pertikaian antara kelompok atau antarsuku, perbuatan main hakim sendiri, tindakan anggota geng motor yang merusak fasilitas umum, ugal-ugalan dan menyerang orang lain (Kardiman, 2015).
      2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hukum dan HAM
 Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal (naufal, 2014). Faktor-faktor tersebut diantaranya:
Faktor internal :
No
Faktor
Penjelasan
1.       

Keadaan  psikologis para   pelaku
Pelaku dalam keadaan kurang waras,gila,tertekan saat melakukan pelanggaran hukum dan HAM
2.
Sifat egois
Pelaku hanya memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan perasaan orang lain terutama orang yang ia langgar hak asasinya
3.
Tidak toleransi pada orang lain
Pelaku tidak memberikan toleransi atau keringanan terhadap suatu masalah, maupun itu masalah besar atau kecil. Atau bersifat berlebihan
4.
Tingkat kesadaran pelaku pelanggaran hukum dan HAM
Pelaku tidak tau dan tidak mengerti tentang adanya hukum dan  HAM
5.
Tidak memiliki rasa empati dan rasa kemanusiaan
Pelaku seenaknya melakukan pelanggaran hukum dan HAM, tanpa memikirkan rasa kemanusiaan
6.
Adanya pandangan HAM bersifat individualistik
Pelaku merasa bebas karna dia tau dia punya hak sebagai manusia, sehingga ia mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain dan kepentingan umum
7.
Sifat individualis
Pelaku tidak ingin bersosalisasi dengan masyarakat
8.
Adanya dendam
Pelaku memiliki dendam terhadap orang lain yang menyebabkan si pelaku melakukan pelanggaran hukum dan  HAM
9.
Adanya diskriminasi dari orang yang ada dalam kesehariannya
Pelaku sering mendapat perlakuan diskriminasi dari orang terdekatnya seperti, orang tua, kakak dan teman sekolah



Faktor Eksternal :

No
Faktor
Penjelasan
1.
Perangkat hukum yang tidak tegas dan tidak jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
Perangkat hukum seperti polisi, yang tidak tegas sehingga mudah terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
2.
Struktur sosial dan politik yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
Kesenjangan sosial memberikan dampak negatif, terlebih memberikan dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum dan HAM
3.
Kesenjangan ekonomi
Adanya penyalahgunaaan teknologi, umumnya teknologi informasi
4.
Teknologi yang digunakan secara salah
Tidak adanya penjelasan atas pelanggaran hukum dan HAM kepada setiap lapisan masyarakat, dan dari setiap umur
5.
Belum meratanya pemahaman tentang hukum dan HAM
Adanya orang atau pihak yang membuat pelanggaran hukum dan HAM itu menjadi mudah dilakukan
6.
Adanya pihak yang membantu dan mempermudah pelanggaran hukum dan HAM
Ketidak tegasan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dalam menangani pelanggaran hukum dan HAM. Umumnya ini dilakukan dengan cara menyuap
7.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum
Karena banyaknya lembaga hukum yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka kini banyak terjadi pelanggaran hukum dan HAM.








      2.3 Upaya Penegakan Hukum dan HAM
Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia telah menugaskan kepada Lembaga Tinggi dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan  Undang-undang Dasar 1945. Ketetapan ini telah mendorong gerakan penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia. Berlanjut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahu 1999 tetang HAM sebagai norma yuridis (Kardiman, 2015).
Komitmen ini menjadi komitmen konstitusional sejak perubahan kedua UUD 1945 diterima oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000. Pada perubahan itu terdapat 10 pasal baru yang mengatur pengakuan dan penghormatan HAM.Kemudian pada tahun yang sama komitmen ini diwujudkan  dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini memungkinkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM berat yang telah terjadi (Kardiman, 2015).
Sebelum peradilan khusus untuk pelanggaran HAM terbentuk penyelesaian perkara dilakukan di lembaga peradilan yang ada atau lembaga khusus yang memilik wewenang untuk itu, seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Praperadilan dan Komnas HAM (Kardiman, 2015).







Setelah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia muncul tonggak baru perlindungan HAM di Indonesia. Di dalam Undang-undang itu dikatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak asasi Manusia Untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Kardiman, 2015).
Dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, ada tiga jalur penyelesaian pelanggaran HAM. Ketiga jalur tersebut antara lain:
a.       Penyelesaian pelanggaran HAM biasa yang telah diatur dalam KUHP maupun Undang-undang yang lain dilakukan melalui lembaga-lembaga berikut:
1.      Peradilan Umum merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Istilah “pada umumnya” yang digunakan dalam UU Peradilan Umum ini mempunyai makna bahwa “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan (Kardiman, 2015).







2.      Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Orang yang dimaksud dengan “rayat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Sengketa dalam tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usha negara adalah suatu ketetapan tertulis yang berisi tindakan hukum badan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menerbitkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum (Kardiman, 2015).
3.      Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang hal-hal berikut:
a)      Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b)      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c)      Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
4.      Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia (Kardiman, 2015).

b.      Penyelesai pelanggaran HAM berat setelah dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM permanen. Pengadilan HAM permanen berada di lingkungan peradilan umum (Kardiman, 2015).
c.       Penyelesaian pelanggaran HAM berat sebelum dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc  dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan pertistiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Peradilan Umum (Kardiman, 2015).

        Penyelesain kasus pelanggaran HAM juga menjadi Mahkamah Pidana Internasianl (International Criminal Court / ICC) yang status pembentukannya baru disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia pada Juni 1998 (Kardiman, 2015)

    2.4. Hambatan Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia
         Menurut Bambang (2006:92-93), Ada dua hambatan utama dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia, diantaranya: 
1.      Disatu sisi, belum terciptanya pemerintahan yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya penegakan hukum dan HAM dan mampu menyelesaikan kebijakan hukum dan HAM secara efektif, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
2.      Disisi lain, masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil society) yang  mampu menekan pemerintah secara demokratis, sehingga pemerintah bersedia bersikap lebih peduli dan serius dalam menjalankan agenda penegakan hukum dan HAM.

      Selain kedua hal itu, di Indonesia masih ada sejumlah hambatan lain yang patut memperoleh perhatian serius dalam penegakan hukum dan HAM dimasa mendatang, di antaranya:
a.       Ada sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa hukum dan HAM merupakan produk budaya Barat yang individualistik, karena itu tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
b.      Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum.
c.       Dalam beberapa tahun terakhir perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi dari pada penanganan kasus-kasus HAM.
d.      Budaya feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas dalam menindak berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh pejabat atau tokoh masyarakat.
e.       Budaya kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang ada diantara mereka.
f.       Desentralisasi yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalistas birokrasi dan kontrol masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran hukum dan HAM pada tingkat lokal.
g.      Masih ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi sistematis terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang minoritas.
h.      Berbagai ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam antar kelompok masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.
i.        Terjadinya komersialisasi media massa yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan media massa dalam pemuatan laporan investigatif mengenai hukum dan HAM dan pembentukan opini untuk mempromosikan hukum dan HAM.




    Menurut (S, 2008), Dalam penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh pencari keadilan kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menyebabkan tertutupnya "pintu" keadilan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
     Pertama; Legalitas (Undang-Undang/Peraturan). Peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang-undang/Peraturan untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan. Seperti adanya tindak pidana melalui internet / cyber crime (sudah disyahkan DPR tetapi belum diundangkan dalam Lembaran Negara). Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia (S, 2008).
      Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan nyata hampir semua orang. Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya (S, 2008).


      Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap terjadi kontroversi (S, 2008).
            Kedua; Acara/Proses. Adanya proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan ketidakhadiran terdakwa dengan berbagai alasan, sakit misalnya. Selain alasan itu juga, jaksa terlambat menghadirkan saksi ke muka persidangan. Akibatnya proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Terlambatnya peradilan terhadap terdakwa menyebabkan, terdakwa bebas karena vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah habis dipotong masa tahanan (S, 2008).
      Ketiga; Pelaksana/Aparat. Aparat pelaksana penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sering mendapat hambatan tersendiri baik dari para tersangka maupun para penasehat hukum. Sehingga para pencari keadilan terutama korban, mau tidak mau harus menunggu dan mengikuti proses peradilan pidana. Belum lagi adanya proses permohonan penangguhan penahanan dari tersangka, aparat yang masih sibuk mencari barang bukti lain, maupun adanya pengacara yang ikut memperkeruh suasana proses peradilan pidana. Dalam melaksanakan profesinya, ada saja pengacara yang tidak sesuai dengan tujuan profesinya. Padahal, pada hakekatnya pengacara mempunyai tujuan untuk sama-sama meluruskan hukum, mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan bersama-sama profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim (S, 2008).
     Seharusnya pengacara membantu polisi, jaksa maupun hakim untuk menemukan kebenaran, membantu mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan serta memberi masukan kepada hakim dalam memberikan putusannya sehingga sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (S, 2008).
     Menurut Robert Lefcourt dalam buku Law Against The People, tulisannya mengenai pengacara yang berjudul “Lawyers for the Poor Can’t Win” mengatakan bahwa bagi kelas bawah seringkali tidak mendapat perhatian pengacara dalam kasus hukum yang menimpanya. Orang miskin tidak dapat bersaing jika dihadapkan melawan orang kaya, orang kaya mempunyai kapasitas untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, sedangkan bagi orang miskin tidak mendapat perlakukan seperti orang kaya. Selain adanya hambatan yang disebabkan oleh intervensi pengacara dalam proses peradilan, juga adanya desakan untuk memberikan perlindungan terhadap para penegak hukum (terutama hakim) sehingga tidak menjadi sasaran rekan para pelaku kejahatan yang sedang disidangkan (S, 2008).
     Pada umumnya, mayoritas masyarakat tidak begitu mengerti dengan seluk beluk teknik pemenangan perkara dalam persidangan. Mereka sama sekali tidak dapat menerima, misalnya jika ada terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah namun dibebaskan oleh pengadilan. Karena itu ketidakpuasan masyarakat, juga merupakan suatu indikasi dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi petugas hukum dalam menghadapi kasus-kasus (S, 2008).
     




     Keempat; Saksi dan bukti. Banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup bukti atau bahkan tidak terbukti justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan tersangka/terdakwa. Bagi tersangka/terdakwa seringkali berupaya untuk menghilangkan barang bukti dan bersikap membuat pernyataan untuk berbohong di depan penyidik maupun hakim. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena setiap pelaku tindak pidana cenderung menghindari diri dari jeratan hukum maupun hukuman yang sudah diprediksi sebelumnya ketika melakukan kejahatan. Meskipun ketika akan menjalani pemeriksaan yang bersangkutan mendapatkan sumpah, namun kecenderungan untuk menghindar dari jeratan hukum dengan berbohong atau menghilangkan barang bukti pasti terjadi (S, 2008).
     Pada kasus korupsi, penyidik memfokuskan diri untuk menyidik pelakunya, penelusuran asset yang dikorup dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan. Sementara penyidikan berlangsung, apabila pelakunya tidak ditahan, lebih menyedihkan lagi, para pelaku atau pihak keluarga maupun kuasanya akan dengan leluasa memindahkan kekayaannya, mereka cepat-cepat memindahtangankan atau menjaminkan kekayaannya itu. Pihak yang memberi jaminan seperti pembeli, bank atau pihak tertentu, tentu saja akan menerima penjaminan atau pengalihan kekayaan itu karena berstatus bebas dan belum disita oleh penyidik. Mungkin juga, bahwa kekayaan yang belum disita tadi pemindahtanganannya akan disyahkan oleh notaris. Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena bisa saja pelaku korupsi yang tengah dalam proses penyidikan memberikan keterangan palsu kepada notaris seakan-akan kekayaan tersebut belum disita (S, 2008).








BAB III
PENUTUP

     3.1  Kesimpulan
                      Pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal. Hukum dan HAM haruslah ditegakkan, maka dari itu perlu adanya upaya-upaya dalam menegakannya. Namun, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

      3.2  Saran
Penegakan hukum dan HAM sangatlah diperlukan pada zaman ini, maka dari itu perlu adanya pemahaman yang lebih mengenai hukum dan HAM  itu sendiri, agar tidak tejadi kembali pelanggaran-pelanggaran HAM yang kini semakin memperihatinkan.








 




DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suteng, S. W. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan SMA 1. Jakarta: Erlangga.
Faruq, H. A. (2015, Agustus). Bentuk Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) . Dipetik Maret 22, 2017, dari http://www.habibullahurl.com:http://www.habibullahurl.com
/2015/08/bentuk-pelanggaran-ham.html
Kardiman, Y. (2015). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
naufal, D. ( 2014, September). Faktor inter dan eksternal penyebab pelanggaran HAM. Dipetik Maret 22, 2017, dari dhimasnaufal7.blogspot.co.id: http://dhimasnaufal7.blogspot.co.id
/2014/09/faktor-inter-dan-eksternal-penyebab.html
Rachmatika, A. (2014, Agustus 14 ). Penjelasan HAM dan Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia . Dipetik Maret 22, 2017, dari Pelajar SMA: http://abityarachmatika.
Sblogspot.co.id/2014/08/penjelasan-ham-dan-contoh-kasus.html
S, A. (2008, April 25 ). Hambatan dalam Penegakkan Hukum . Dipetik Maret 22, 2017, dari atang1973.blogspot.co.id: http://atang1973.blogspot.co.id/2008/04/hambatan-dalam-penegakkan-hukum.html
Samawi, A. (2007). Pendidikan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Depdiknas.











 
A.    Pilihlah jawaban yang paling tepat!

1.      Kebiasaan tidak mau antri merupakan perbuatan yang melanggar Ham. Kebiasaan tersebut merupakan pelanggaran ham yang bersifat….
A.    Berat
B.     Sedang
C.     Ringan
D.    Tinggi
E.     Rendah

2.      Penjaga palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga membawa korban mobil beserta seluruh penumpangnya merupakancontoh dari pelanggaran….
A.    Ham
B.     Norma
C.     Adat
D.    Aturan
E.     Etika

3.      Undang-undang yang mengtur tentang Pengadilan Ham adalah….
A.    UU No. 11/PNPS/1963
B.     UU No. 39 tahun 1999
C.     UU No. 26 tahun 2000
D.    UU No 20 tahun 2006
E.     UU No. 22 tahun 2002







 
4.      Perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama adalah kejahatan….
A.     Genosida
B.     Ham
C.     Hukum
D.     Kemanusiaan
E.      Umum

5.      Kejahatan dibawah ini merupakan kejahatan Manusia, kecuali…
A.    pembunuhan
B.     pemusnahan
C.     perbudakan
D.    pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
E.     membunuh anggota kelompok

B.     Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas dan tepat!

1.      Apa yang membedakan kejahatan Genosida dengan kejahatan manusia? Jelaskan!
2.      Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan  pelanggaran ham!
3.      Mengapa benyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia?
4.      Bagaimana upaya kita untuk menghindari pelanggaran hak disekolah, seperti hukuman fisik dan tawuran?
5.      Berikan Pendapat  anda mengenai fenomena banyaknya anak yang putus sekolah dan menjadi anak jalanan!





 
Kunci jawaban bagian A:
1        C
2        A
3        C
4        A
5        E

Kunci jawaban bagian B:

1.      Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama. Contohnya pembunuhan anggota kelompok suatu agama tertentu. Sementara Kejahatan kemanusiaan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menyerang secara sistematik terhadap penduduk sipil. Contohnya pembudakan.

2.      Faktor yang menyebabkan pelanggaran ham ada 2, yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut seperti keadaan psikologis para pelaku. faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar diri manusia yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan pelanggaran. Faktor eksternal berupa:
a)      perangkat hukum yang tidak tegas dan jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
b)      struktur sosial dan politik yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.

3.      arena perbedaan kepentingan bisa berpotensi terjadi benturan kepentingan yang dapat berakibat salah satunya mendahulukan ego, sehingga melakukan hal-hal sesuai kehendaknya yang sebenarnya merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM juga dipicu oleh rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat atau kurang tegasnya aparat hukum dalam menindak kasus-kasus pelanggaran HAM.
4.      Pelanggaran hak di sekolah dapat dipicu oleh banyak hal, misalnya perilaku siswa yang keterlaluan sehingga memancing amarah guru dan memberikan sanksi berat atau emosi siswa akibat dendam pribadi sehingga mengajak siswa lain untuk melakukan pengeroyokan. Cara untuk menghindari hal-hal tersebut misalnya dengan peningkatan kualitas diri dengan menjadi siswa yang bersikap dan berperilaku santun agar dapat mewujudkan proses pembelajaran dengan tertib tanpa hambatan yang berarti. Jika ada masalah hendaknya dibicarakan secara kekeluargaan dengan meminta bantuan mediator agar masalah dapat selesai tanpa adanya tindakan kekerasan.

5.      Meski sekolah merupakan HAK kita dan orang tua berkewajiban membiayai, namun bukan mereka tidak mau sekolah mereka memikirkan ekonomi dan kondisi mereka yang mungkin tidak berdaya untuk melanjutan sekolah. Mereka terpaksa merelakan masa muda mereka sebagai anak jalanan yang pasti tidak berpendidikan dan bergaul dengan teman seperti apa saja. Seharusnya pemerintah melihat fenomena seperti ini karena mereka merupakan generasi penerus bangsa Indonesia, pemerintah wajib memberikan keringanan kepada anak anak untuk bisa bersekolah seperti orang lain.


 



BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama, karena Hak Asasi Manusia itu merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Didalam pemenuhan HAM pada dirinya sendiri tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya. Bahkan banyak orang yang melanggar hukum karena terlalu mementingkan haknya sendiri. Jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM ini sangat banyak ragamnya. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi karena berbagai faktor.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang penegakan hukum dan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM didirikan sebagai upaya menunjang komitmen penegakan hukum dan HAM yang lebih optimal.  Namun seiring dengan kemajuan ini, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM ini. Maka dari itu penegakan HAM seakan sulit untuk dilakukan. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.

1.2   Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM?
2.      Apa sajakah faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM?
3.      Bagaimanakah upaya penegakan hukum dan HAM?
4.      Apakah yang menghambat penegakan hukum dan HAM?

1.3   Tujuan
1.      Untuk mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
2.      Untuk menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3.      Untuk menganalisa upaya penegakan hukum dan HAM.
4.      Untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum dan HAM.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Jenis-jenis Pelanggaran Hukum dan HAM
Pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Pelanggaran HAM dimulai ketika hak dan kewajiban tidak berjalan secara seimbang. Apabila suatu kewajiban untuk memberikan hak kepada orang lain tidak dilakukan, maka disitu lah terjadi pelanggaran HAM (Samawi, 2007).
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Rachmatika, 2014).
Jadi pelanggaran hukum dan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau lembaga dengan sengaja atau tidak sengaja dapat menghambat, mengurangi, membatasi, mencabut, dan atau merampas hak dari orang lain sehingga dapat merendahkan derajat dan martabat manusia. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang direncanakan dan dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melanggar hukum dan HAM (Samawi, 2007).
Contohnya: seorang pengendara sepeda motor atau mobil sengaja melanggar rambu lampu merah di persimpangan jalan. Pelanggaran hukum dan ham yang dilakukan tanpa sengaja adalah semua perbuatan yang karena kelalainnya dapat mengakibatkan pelanggaran. Contohnya, penjaga palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga mengakibatkan korban mobil beserta seluruh penumpangnya (Samawi, 2007).
Pelanggaran hukum dan HAM dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)      Pelanggaran hukum dan HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan, yakni pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya apabila tidak segera diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh masyarakat dan sebagainya (Faruq, 2015).
Pelanggaran ham ringan sering dilakukan orang tetapi tidak dirasakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ringan tersebut terkait dengan pola budaya dan kebiasaan perilaku masyarakat. Misalnya, kebiasaan tidak mau antri, menyeberang tidak pada tempatnya, membuang sampah tidak pada tempatnya. Akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran hukum dan HAM ringan ini memang tidak begitu dirasakan oleh orang lain tetapi membuat tidak ada ketertiban (Samawi, 2007).
Pelanggaran hukum dan HAM ringan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dilakukan oleh siapa saja. Hal ini dapat terjadi karena sanksinya tidak begitu tegas dan tidak berat sehingga para pelaku merasakan bukan sebagai suatu pelanggaran (Samawi, 2007).






b)      Pelanggaran Hukum dan HAM berat
Pelanggaran HAM berat, yakni pelanggaran HAM yang bersifat berbahaya, dan mengancam nyawa manusia, seperti halnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan, perbudakan, penyanderaan dan lain sebagainya (Faruq, 2015).
Berbagai pelanggaran HAM di bidang sosial publik dimulai dari tindakan manusia mengeksploitasi alam menimbulkan kerusakan ekologi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menjaga kelestarian dan kelangsungan alami akan merusak sumber daya alam dan sumber daya hayati. Akibatnya menimbulkan kerusakan ekosistem yang hebat sehingga hak public untuk menikmati kehidupan ekosistem yang sehat menjadi terganggu (Samawi, 2007).
Pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni :
1.      Kejahatan Genosida. Merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh maupun sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, maupun agama dengan cara:
a)      Membunuh setiap anggota kelompok.
b)      Mengakibatkan terjadinya penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok.
c)      Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang bisa mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d)     Memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke dalam kelompok yang lain.


2.      Kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :
a)      Pembunuhan.
b)      Pemusnahan.
c)      Perbudakan.
d)     Pengusiran atau pemindahan penduduk yang dilakukan secara paksa.
e)      Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain dengan sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f)       Penyiksaan.
g)      Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h)      Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu maupun perkumpulan yang didasari dengan persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i)        Penghilangan orang secara paksa.
j)        Kejahatan apartheid, yakni sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh suatu pemerintahan bertujuan untuk melindungi hak istimewa dari suatu ras atau bangsa.
Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di atas pada dasarnya adalah bentuk pelanggaran kepada hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Selain itu pula, pelanggaran HAM berat merupakan bentuk penghinaan terhadap harkat, derajat dan martabat manusia (Faruq, 2015).

Ada berbarapa kasus pelangaran HAM yang terjadi di Indonesia. Jika dilihat dari perspektif Pancasila, pelanggaran HAM tentu saja bertentangan dengan nilai-nillai Pancasila. Kasus pelanggaran HAM dapat saja merupakan penyimpangan terhdap salah satu sila, tetapi perlu diingat bahwa sila-sila Pancasila saling terkait satu sama lain. Itulah sebabnya, penyimpangan terhadap salah satu sila dapat menjadi penyimpangan terhadap sila-sila yang lain (Kardiman, 2015). Contoh-contohnya:
1.      Pelanggaan HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pelanggaran dalam hal ini dapat berupa pelanggaran hak kemerdekaan untuk memeluk agama, melaksanakan ibadah, dan menghormati perbedaan agama. Contoh pelanggarannya yaitu peristiwa Tanjung Periok pada tahun 1984. Peristiwa itu dipicu oleh masalah SARA. Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara lain: pengeroyokan, menimbulkan rasa takut, perusakan dan pembakaran terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko, apotek dan kendaraan bermotor (Kardiman, 2015).

2.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pelanggaran dapat berupa perlakuan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Contoh pelanggarannya yaitu: Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior pada tahun 2001 dan peristiwa Wamena pada tahun 2003 di Papua. Pada peristiwa Keusuhan Mei 1998 terjadi berbagai tindakan pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan. Kerusuhan itu terjadi di beberapa wilayah seperti Jakarta, Solo, Lampung, Bandung, Surabaya dan Medan (Kardiman, 2015).


Empat tahun kemudian terjadi peristiwa Wasior. Pada peristiwa ini diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil. Sementara itu peristiwa Wamena diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, pengusiran penduduk, perampasan penduduk, perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang dan penyiksaan (Kardiman, 2015).

3.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Persatuan Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa tindakan yang tidak mengakui hak akan kebersamaan sebagai suatu bangsa dan tidak menghargai perbedaan. Contohnya: peristiwa Aceh pada tahun 1990-1998. Pada sekitar 1989-1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ketika Gerakan Pengacu Keamanan tidak lagi bisa teratasi, maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa itu pelanggaran HAM terjadi, seperti pembunuhan massal, penculikan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan pembakaran desa (Kardiman, 2015).
 Selain peristiwa Aceh, peristiwa di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat 1999 juga termasuk pelanggaran HAM. Pada saat itu banyak terjadi pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan, pengungsian paksa, serta pembumihangusan. Akibatnya, tidak sedikit penduduk sipil terbunuh dan luka-luka (Kardiman, 2015).



4.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pelanggaran ini dapat terjadi ketika penyelesaian masalah bersama melupakan musyawarah yang mengutamakan partisipasi publik dalam menyuarakan aspirasi mereka dan melupakan musyawarah yang mengutamakan kepentingan bersama. Contohnya yaitu Tragedi Trisakti I dan Semanggi II. Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Pada saat itu, ada 4 orang mahasiswa tewas tertembak. Tragedi ini dilatarbelakangi oleh kondisi perekonomian yang goyah akibat dampak  krisis finansial Asia pada awal 1998. Kondisi ini mengantar para mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi yang mengarah agar Presiden Soeharto mengundurkan diri (Kardiman, 2015).
 Beberapa bulan setelah tragedi ini, terjadi pula Tragedi Semanggi I yang mana terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menolak Sidang Istimewa MPR. Tragedi ini telah menewaskan belasan orang, baik warga sipil ataupun mahasiswa. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan Tragedi Semanggi II, dimana pada tanggal 23 September 1999 mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menentang pemberlakuan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB). Tampaknya pada ketiga tragedi tersebut, ada pelanggaran hak menyampaikan pendapat (Kardiman, 2015).

5.      Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa perlakuan yang tidak adil dan seimbang dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Contohnya yaitu kasus Marsinah pada 1993. Marsinah adalah seorang karyawati PT CPS. Marsinah sangat gigih membela HAM kaum buruh. Karena perjuangannya itu, Marsinah disiksa dan dianiaya. Hal ini membuat dia meninggal dunia. Kegigihan ini membuat dia menerima Yap Thiam Hien Award (Kardiman, 2015).
Bentuk pelanggaran hak asasi manusia di dalam keluarga antara lain dapat ditemukan dalam berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam RumAh Tangga menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Kardiman, 2015).
Contoh kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
a.       Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
b.      Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakuan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c.       Kekerasan seksual.
d.      Penelantaran rumah tangga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Di dalam dunia pendidikan bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat ditemukan dalam kegiatan masa orentasi siswa yang memunculkan kekerasan, tawuran dan bullying. Bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain (Kardiman, 2015).
Di dalam masyarakat bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat ditemukan dalam pertikaian antara kelompok atau antarsuku, perbuatan main hakim sendiri, tindakan anggota geng motor yang merusak fasilitas umum, ugal-ugalan dan menyerang orang lain (Kardiman, 2015).
      2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hukum dan HAM
 Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal (naufal, 2014). Faktor-faktor tersebut diantaranya:
Faktor internal :
No
Faktor
Penjelasan
1.       

Keadaan  psikologis para   pelaku
Pelaku dalam keadaan kurang waras,gila,tertekan saat melakukan pelanggaran hukum dan HAM
2.
Sifat egois
Pelaku hanya memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan perasaan orang lain terutama orang yang ia langgar hak asasinya
3.
Tidak toleransi pada orang lain
Pelaku tidak memberikan toleransi atau keringanan terhadap suatu masalah, maupun itu masalah besar atau kecil. Atau bersifat berlebihan
4.
Tingkat kesadaran pelaku pelanggaran hukum dan HAM
Pelaku tidak tau dan tidak mengerti tentang adanya hukum dan  HAM
5.
Tidak memiliki rasa empati dan rasa kemanusiaan
Pelaku seenaknya melakukan pelanggaran hukum dan HAM, tanpa memikirkan rasa kemanusiaan
6.
Adanya pandangan HAM bersifat individualistik
Pelaku merasa bebas karna dia tau dia punya hak sebagai manusia, sehingga ia mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain dan kepentingan umum
7.
Sifat individualis
Pelaku tidak ingin bersosalisasi dengan masyarakat
8.
Adanya dendam
Pelaku memiliki dendam terhadap orang lain yang menyebabkan si pelaku melakukan pelanggaran hukum dan  HAM
9.
Adanya diskriminasi dari orang yang ada dalam kesehariannya
Pelaku sering mendapat perlakuan diskriminasi dari orang terdekatnya seperti, orang tua, kakak dan teman sekolah



Faktor Eksternal :

No
Faktor
Penjelasan
1.
Perangkat hukum yang tidak tegas dan tidak jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
Perangkat hukum seperti polisi, yang tidak tegas sehingga mudah terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
2.
Struktur sosial dan politik yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
Kesenjangan sosial memberikan dampak negatif, terlebih memberikan dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum dan HAM
3.
Kesenjangan ekonomi
Adanya penyalahgunaaan teknologi, umumnya teknologi informasi
4.
Teknologi yang digunakan secara salah
Tidak adanya penjelasan atas pelanggaran hukum dan HAM kepada setiap lapisan masyarakat, dan dari setiap umur
5.
Belum meratanya pemahaman tentang hukum dan HAM
Adanya orang atau pihak yang membuat pelanggaran hukum dan HAM itu menjadi mudah dilakukan
6.
Adanya pihak yang membantu dan mempermudah pelanggaran hukum dan HAM
Ketidak tegasan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dalam menangani pelanggaran hukum dan HAM. Umumnya ini dilakukan dengan cara menyuap
7.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum
Karena banyaknya lembaga hukum yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka kini banyak terjadi pelanggaran hukum dan HAM.








      2.3 Upaya Penegakan Hukum dan HAM
Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia telah menugaskan kepada Lembaga Tinggi dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan  Undang-undang Dasar 1945. Ketetapan ini telah mendorong gerakan penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia. Berlanjut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahu 1999 tetang HAM sebagai norma yuridis (Kardiman, 2015).
Komitmen ini menjadi komitmen konstitusional sejak perubahan kedua UUD 1945 diterima oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000. Pada perubahan itu terdapat 10 pasal baru yang mengatur pengakuan dan penghormatan HAM.Kemudian pada tahun yang sama komitmen ini diwujudkan  dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini memungkinkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM berat yang telah terjadi (Kardiman, 2015).
Sebelum peradilan khusus untuk pelanggaran HAM terbentuk penyelesaian perkara dilakukan di lembaga peradilan yang ada atau lembaga khusus yang memilik wewenang untuk itu, seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Praperadilan dan Komnas HAM (Kardiman, 2015).







Setelah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia muncul tonggak baru perlindungan HAM di Indonesia. Di dalam Undang-undang itu dikatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak asasi Manusia Untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Kardiman, 2015).
Dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, ada tiga jalur penyelesaian pelanggaran HAM. Ketiga jalur tersebut antara lain:
a.       Penyelesaian pelanggaran HAM biasa yang telah diatur dalam KUHP maupun Undang-undang yang lain dilakukan melalui lembaga-lembaga berikut:
1.      Peradilan Umum merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Istilah “pada umumnya” yang digunakan dalam UU Peradilan Umum ini mempunyai makna bahwa “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan (Kardiman, 2015).







2.      Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Orang yang dimaksud dengan “rayat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Sengketa dalam tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usha negara adalah suatu ketetapan tertulis yang berisi tindakan hukum badan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menerbitkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum (Kardiman, 2015).
3.      Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang hal-hal berikut:
a)      Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b)      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c)      Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
4.      Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia (Kardiman, 2015).

b.      Penyelesai pelanggaran HAM berat setelah dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM permanen. Pengadilan HAM permanen berada di lingkungan peradilan umum (Kardiman, 2015).
c.       Penyelesaian pelanggaran HAM berat sebelum dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc  dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan pertistiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Peradilan Umum (Kardiman, 2015).

        Penyelesain kasus pelanggaran HAM juga menjadi Mahkamah Pidana Internasianl (International Criminal Court / ICC) yang status pembentukannya baru disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia pada Juni 1998 (Kardiman, 2015)

    2.4. Hambatan Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia
         Menurut Bambang (2006:92-93), Ada dua hambatan utama dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia, diantaranya: 
1.      Disatu sisi, belum terciptanya pemerintahan yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya penegakan hukum dan HAM dan mampu menyelesaikan kebijakan hukum dan HAM secara efektif, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
2.      Disisi lain, masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil society) yang  mampu menekan pemerintah secara demokratis, sehingga pemerintah bersedia bersikap lebih peduli dan serius dalam menjalankan agenda penegakan hukum dan HAM.

      Selain kedua hal itu, di Indonesia masih ada sejumlah hambatan lain yang patut memperoleh perhatian serius dalam penegakan hukum dan HAM dimasa mendatang, di antaranya:
a.       Ada sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa hukum dan HAM merupakan produk budaya Barat yang individualistik, karena itu tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
b.      Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum.
c.       Dalam beberapa tahun terakhir perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi dari pada penanganan kasus-kasus HAM.
d.      Budaya feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas dalam menindak berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh pejabat atau tokoh masyarakat.
e.       Budaya kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang ada diantara mereka.
f.       Desentralisasi yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalistas birokrasi dan kontrol masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran hukum dan HAM pada tingkat lokal.
g.      Masih ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi sistematis terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang minoritas.
h.      Berbagai ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam antar kelompok masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.
i.        Terjadinya komersialisasi media massa yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan media massa dalam pemuatan laporan investigatif mengenai hukum dan HAM dan pembentukan opini untuk mempromosikan hukum dan HAM.




    Menurut (S, 2008), Dalam penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh pencari keadilan kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menyebabkan tertutupnya "pintu" keadilan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
     Pertama; Legalitas (Undang-Undang/Peraturan). Peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang-undang/Peraturan untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan. Seperti adanya tindak pidana melalui internet / cyber crime (sudah disyahkan DPR tetapi belum diundangkan dalam Lembaran Negara). Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia (S, 2008).
      Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan nyata hampir semua orang. Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya (S, 2008).


      Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap terjadi kontroversi (S, 2008).
            Kedua; Acara/Proses. Adanya proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan ketidakhadiran terdakwa dengan berbagai alasan, sakit misalnya. Selain alasan itu juga, jaksa terlambat menghadirkan saksi ke muka persidangan. Akibatnya proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Terlambatnya peradilan terhadap terdakwa menyebabkan, terdakwa bebas karena vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah habis dipotong masa tahanan (S, 2008).
      Ketiga; Pelaksana/Aparat. Aparat pelaksana penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sering mendapat hambatan tersendiri baik dari para tersangka maupun para penasehat hukum. Sehingga para pencari keadilan terutama korban, mau tidak mau harus menunggu dan mengikuti proses peradilan pidana. Belum lagi adanya proses permohonan penangguhan penahanan dari tersangka, aparat yang masih sibuk mencari barang bukti lain, maupun adanya pengacara yang ikut memperkeruh suasana proses peradilan pidana. Dalam melaksanakan profesinya, ada saja pengacara yang tidak sesuai dengan tujuan profesinya. Padahal, pada hakekatnya pengacara mempunyai tujuan untuk sama-sama meluruskan hukum, mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan bersama-sama profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim (S, 2008).
     Seharusnya pengacara membantu polisi, jaksa maupun hakim untuk menemukan kebenaran, membantu mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan serta memberi masukan kepada hakim dalam memberikan putusannya sehingga sesuai dengan rasa keadilan masyarakat (S, 2008).
     Menurut Robert Lefcourt dalam buku Law Against The People, tulisannya mengenai pengacara yang berjudul “Lawyers for the Poor Can’t Win” mengatakan bahwa bagi kelas bawah seringkali tidak mendapat perhatian pengacara dalam kasus hukum yang menimpanya. Orang miskin tidak dapat bersaing jika dihadapkan melawan orang kaya, orang kaya mempunyai kapasitas untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, sedangkan bagi orang miskin tidak mendapat perlakukan seperti orang kaya. Selain adanya hambatan yang disebabkan oleh intervensi pengacara dalam proses peradilan, juga adanya desakan untuk memberikan perlindungan terhadap para penegak hukum (terutama hakim) sehingga tidak menjadi sasaran rekan para pelaku kejahatan yang sedang disidangkan (S, 2008).
     Pada umumnya, mayoritas masyarakat tidak begitu mengerti dengan seluk beluk teknik pemenangan perkara dalam persidangan. Mereka sama sekali tidak dapat menerima, misalnya jika ada terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah namun dibebaskan oleh pengadilan. Karena itu ketidakpuasan masyarakat, juga merupakan suatu indikasi dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi petugas hukum dalam menghadapi kasus-kasus (S, 2008).
     




     Keempat; Saksi dan bukti. Banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup bukti atau bahkan tidak terbukti justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan tersangka/terdakwa. Bagi tersangka/terdakwa seringkali berupaya untuk menghilangkan barang bukti dan bersikap membuat pernyataan untuk berbohong di depan penyidik maupun hakim. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, karena setiap pelaku tindak pidana cenderung menghindari diri dari jeratan hukum maupun hukuman yang sudah diprediksi sebelumnya ketika melakukan kejahatan. Meskipun ketika akan menjalani pemeriksaan yang bersangkutan mendapatkan sumpah, namun kecenderungan untuk menghindar dari jeratan hukum dengan berbohong atau menghilangkan barang bukti pasti terjadi (S, 2008).
     Pada kasus korupsi, penyidik memfokuskan diri untuk menyidik pelakunya, penelusuran asset yang dikorup dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan. Sementara penyidikan berlangsung, apabila pelakunya tidak ditahan, lebih menyedihkan lagi, para pelaku atau pihak keluarga maupun kuasanya akan dengan leluasa memindahkan kekayaannya, mereka cepat-cepat memindahtangankan atau menjaminkan kekayaannya itu. Pihak yang memberi jaminan seperti pembeli, bank atau pihak tertentu, tentu saja akan menerima penjaminan atau pengalihan kekayaan itu karena berstatus bebas dan belum disita oleh penyidik. Mungkin juga, bahwa kekayaan yang belum disita tadi pemindahtanganannya akan disyahkan oleh notaris. Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena bisa saja pelaku korupsi yang tengah dalam proses penyidikan memberikan keterangan palsu kepada notaris seakan-akan kekayaan tersebut belum disita (S, 2008).








BAB III
PENUTUP

     3.1  Kesimpulan
                      Pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal. Hukum dan HAM haruslah ditegakkan, maka dari itu perlu adanya upaya-upaya dalam menegakannya. Namun, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

      3.2  Saran
Penegakan hukum dan HAM sangatlah diperlukan pada zaman ini, maka dari itu perlu adanya pemahaman yang lebih mengenai hukum dan HAM  itu sendiri, agar tidak tejadi kembali pelanggaran-pelanggaran HAM yang kini semakin memperihatinkan.








 




DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suteng, S. W. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan SMA 1. Jakarta: Erlangga.
Faruq, H. A. (2015, Agustus). Bentuk Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) . Dipetik Maret 22, 2017, dari http://www.habibullahurl.com:http://www.habibullahurl.com
/2015/08/bentuk-pelanggaran-ham.html
Kardiman, Y. (2015). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
naufal, D. ( 2014, September). Faktor inter dan eksternal penyebab pelanggaran HAM. Dipetik Maret 22, 2017, dari dhimasnaufal7.blogspot.co.id: http://dhimasnaufal7.blogspot.co.id
/2014/09/faktor-inter-dan-eksternal-penyebab.html
Rachmatika, A. (2014, Agustus 14 ). Penjelasan HAM dan Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia . Dipetik Maret 22, 2017, dari Pelajar SMA: http://abityarachmatika.
Sblogspot.co.id/2014/08/penjelasan-ham-dan-contoh-kasus.html
S, A. (2008, April 25 ). Hambatan dalam Penegakkan Hukum . Dipetik Maret 22, 2017, dari atang1973.blogspot.co.id: http://atang1973.blogspot.co.id/2008/04/hambatan-dalam-penegakkan-hukum.html
Samawi, A. (2007). Pendidikan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Depdiknas.










 
A.    Pilihlah jawaban yang paling tepat!

1.      Kebiasaan tidak mau antri merupakan perbuatan yang melanggar Ham. Kebiasaan tersebut merupakan pelanggaran ham yang bersifat….
A.    Berat
B.     Sedang
C.     Ringan
D.    Tinggi
E.     Rendah

2.      Penjaga palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga membawa korban mobil beserta seluruh penumpangnya merupakancontoh dari pelanggaran….
A.    Ham
B.     Norma
C.     Adat
D.    Aturan
E.     Etika

3.      Undang-undang yang mengtur tentang Pengadilan Ham adalah….
A.    UU No. 11/PNPS/1963
B.     UU No. 39 tahun 1999
C.     UU No. 26 tahun 2000
D.    UU No 20 tahun 2006
E.     UU No. 22 tahun 2002






 
4.      Perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama adalah kejahatan….
A.     Genosida
B.     Ham
C.     Hukum
D.     Kemanusiaan
E.      Umum

5.      Kejahatan dibawah ini merupakan kejahatan Manusia, kecuali…
A.    pembunuhan
B.     pemusnahan
C.     perbudakan
D.    pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
E.     membunuh anggota kelompok

B.     Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas dan tepat!

1.      Apa yang membedakan kejahatan Genosida dengan kejahatan manusia? Jelaskan!
2.      Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan  pelanggaran ham!
3.      Mengapa benyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia?
4.      Bagaimana upaya kita untuk menghindari pelanggaran hak disekolah, seperti hukuman fisik dan tawuran?
5.      Berikan Pendapat  anda mengenai fenomena banyaknya anak yang putus sekolah dan menjadi anak jalanan!




 
Kunci jawaban bagian A:
1        C
2        A
3        C
4        A
5        E

Kunci jawaban bagian B:

1.      Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama. Contohnya pembunuhan anggota kelompok suatu agama tertentu. Sementara Kejahatan kemanusiaan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menyerang secara sistematik terhadap penduduk sipil. Contohnya pembudakan.

2.      Faktor yang menyebabkan pelanggaran ham ada 2, yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut seperti keadaan psikologis para pelaku. faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar diri manusia yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan pelanggaran. Faktor eksternal berupa:
a)      perangkat hukum yang tidak tegas dan jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
b)      struktur sosial dan politik yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.

3.      Karena perbedaan kepentingan bisa berpotensi terjadi benturan kepentingan yang dapat berakibat salah satunya mendahulukan ego, sehingga melakukan hal-hal sesuai kehendaknya yang sebenarnya merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM juga dipicu oleh rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat atau kurang tegasnya aparat hukum dalam menindak kasus-kasus pelanggaran HAM.
4.      Pelanggaran hak di sekolah dapat dipicu oleh banyak hal, misalnya perilaku siswa yang keterlaluan sehingga memancing amarah guru dan memberikan sanksi berat atau emosi siswa akibat dendam pribadi sehingga mengajak siswa lain untuk melakukan pengeroyokan. Cara untuk menghindari hal-hal tersebut misalnya dengan peningkatan kualitas diri dengan menjadi siswa yang bersikap dan berperilaku santun agar dapat mewujudkan proses pembelajaran dengan tertib tanpa hambatan yang berarti. Jika ada masalah hendaknya dibicarakan secara kekeluargaan dengan meminta bantuan mediator agar masalah dapat selesai tanpa adanya tindakan kekerasan.

5.      Meski sekolah merupakan HAK kita dan orang tua berkewajiban membiayai, namun bukan mereka tidak mau sekolah mereka memikirkan ekonomi dan kondisi mereka yang mungkin tidak berdaya untuk melanjutan sekolah. Mereka terpaksa merelakan masa muda mereka sebagai anak jalanan yang pasti tidak berpendidikan dan bergaul dengan teman seperti apa saja. Seharusnya pemerintah melihat fenomena seperti ini karena mereka merupakan generasi penerus bangsa Indonesia, pemerintah wajib memberikan keringanan kepada anak anak untuk bisa bersekolah seperti orang lain.