MAKALAH PENDIDIKAN HAM
JENIS PELANGGARAN HUKUM
DAN HAM
OLEH KELOMPOK 5
SEMESTER II A
Mata Kuliah : Pendidikan HAM
Pengampu
Mata Kuliah : Drs. A. Sudirman, M. H.
Disusun oleh:
1.
Andro Catur
Mahardika (1653053027)
2.
Nabila Ayu (1613053050)
3.
Pratiwi (1653053017)
4.
Sopiah (1613053033)
5.
Yolanda Alif
Tasya (1613053044)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR S1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Jenis Pelanggaran Hukum Dan Ham” telah
dapat diselesaikan. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pendidikan HAM.
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah Swt.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.
Metro,
22 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL………………………………………………. i
KATA
PENGANTAR …………………………………………… ii
DAFTAR ISI……………………………………………………..… iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang………………………………….………… 1
1.2
Rumusan Masalah ………………………….….………… 1
1.3
Tujuan …………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jenis-jenis Pelanggaran Hukum
dan HAM…….……… . 3
2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran
Hukum dan HAM……………………………………… 11
2.3 Upaya Penegakan Hukum dan HAM…………………… 13
2.4.
Hambatan Penegakan Hukum dan HAM
di Indonesia …………………………………………… 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………….… 22
3.2 Saran
…………………………………………………… 22
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………… 23
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya
memiliki hak yang sama, karena Hak Asasi Manusia itu merupakan unsur normatif
yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan
sampai akhir hidupnya. Didalam pemenuhan HAM pada dirinya sendiri tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan antar individu. Hal inilah yang kemudian bisa
memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya. Bahkan banyak orang yang melanggar hukum
karena terlalu mementingkan haknya sendiri. Jenis-jenis pelanggaran hukum dan
HAM ini sangat banyak ragamnya. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi karena
berbagai faktor.
Setelah reformasi tahun 1998,
Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang penegakan hukum dan HAM bagi seluruh
warganya. Instrumen-instrumen HAM didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan hukum dan HAM yang lebih optimal.
Namun seiring dengan kemajuan ini, banyak hambatan yang harus dihadapi
dalam penegakan hukum dan HAM ini. Maka dari itu penegakan HAM seakan sulit
untuk dilakukan. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang
jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa sajakah jenis-jenis
pelanggaran hukum dan HAM?
2.
Apa sajakah faktor yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM?
3.
Bagaimanakah upaya penegakan
hukum dan HAM?
4. Apakah
yang menghambat penegakan hukum dan HAM?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengidentifikasi
jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
2.
Untuk menganalisa faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3.
Untuk menganalisa upaya
penegakan hukum dan HAM.
4.
Untuk mengidentifikasi
hambatan-hambatan dalam penegakan hukum dan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis-jenis Pelanggaran Hukum dan HAM
Pelanggaran
hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling
banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok,
maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan
pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang,
hingga yang berat. Pelanggaran HAM dimulai ketika hak dan kewajiban tidak
berjalan secara seimbang.
Apabila suatu kewajiban untuk memberikan hak kepada orang lain tidak dilakukan,
maka disitu lah terjadi pelanggaran HAM (Samawi, 2007).
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999
yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku (Rachmatika, 2014).
Jadi pelanggaran hukum
dan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau lembaga dengan
sengaja atau tidak sengaja dapat menghambat, mengurangi, membatasi, mencabut,
dan atau merampas hak dari orang lain sehingga dapat merendahkan derajat dan
martabat manusia. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang direncanakan dan
dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melanggar hukum dan HAM (Samawi, 2007).
Contohnya: seorang pengendara sepeda
motor atau mobil sengaja melanggar rambu lampu merah di persimpangan jalan.
Pelanggaran hukum dan ham yang dilakukan tanpa sengaja adalah semua perbuatan
yang karena kelalainnya dapat mengakibatkan pelanggaran. Contohnya, penjaga
palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan
keras dan juga mengakibatkan korban mobil beserta seluruh penumpangnya (Samawi, 2007).
Pelanggaran
hukum dan HAM dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Pelanggaran
hukum dan HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan,
yakni pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya
apabila tidak segera diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam
memberikan pelayanan kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh
masyarakat dan sebagainya (Faruq, 2015).
Pelanggaran ham ringan sering dilakukan orang tetapi
tidak dirasakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ringan tersebut terkait dengan
pola budaya dan kebiasaan perilaku masyarakat. Misalnya, kebiasaan tidak mau
antri, menyeberang tidak pada tempatnya, membuang sampah tidak pada tempatnya.
Akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran hukum dan HAM ringan ini memang tidak
begitu dirasakan oleh orang lain tetapi membuat tidak ada ketertiban (Samawi, 2007).
Pelanggaran
hukum dan HAM ringan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dilakukan oleh
siapa saja. Hal ini dapat terjadi karena sanksinya tidak begitu tegas dan tidak
berat sehingga para pelaku merasakan bukan sebagai suatu pelanggaran (Samawi, 2007).
b) Pelanggaran
Hukum dan HAM berat
Pelanggaran HAM berat, yakni
pelanggaran HAM yang bersifat berbahaya, dan mengancam nyawa manusia, seperti
halnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan, perbudakan, penyanderaan dan lain
sebagainya (Faruq, 2015).
Berbagai pelanggaran HAM di bidang sosial publik
dimulai dari tindakan manusia mengeksploitasi alam menimbulkan kerusakan
ekologi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menjaga kelestarian dan kelangsungan
alami akan merusak sumber daya alam dan sumber daya hayati. Akibatnya
menimbulkan kerusakan ekosistem yang hebat sehingga hak public untuk menikmati
kehidupan ekosistem yang sehat menjadi terganggu (Samawi, 2007).
Pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni :
1.
Kejahatan Genosida. Merupakan setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh maupun sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok, maupun agama dengan cara:
a)
Membunuh setiap anggota kelompok.
b)
Mengakibatkan terjadinya penderitaan fisik dan mental
yang berat terhadap anggota kelompok.
c)
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang bisa
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d)
Memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
dalam kelompok yang lain.
2.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan
suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :
a)
Pembunuhan.
b)
Pemusnahan.
c)
Perbudakan.
d)
Pengusiran atau pemindahan penduduk yang dilakukan
secara paksa.
e)
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain dengan sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
f)
Penyiksaan.
g)
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau segala
bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h)
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu maupun
perkumpulan yang didasari dengan persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i)
Penghilangan orang secara paksa.
j)
Kejahatan apartheid, yakni sistem pemisahan ras yang
diterapkan oleh suatu pemerintahan bertujuan untuk melindungi hak istimewa dari
suatu ras atau bangsa.
Pelanggaran
HAM (Hak Asasi Manusia) di atas pada dasarnya adalah bentuk pelanggaran kepada
hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap
manusia. Selain itu pula, pelanggaran HAM berat merupakan bentuk penghinaan
terhadap harkat, derajat dan martabat manusia (Faruq, 2015).
Ada
berbarapa kasus pelangaran HAM yang terjadi di Indonesia. Jika dilihat dari
perspektif Pancasila, pelanggaran HAM tentu saja bertentangan dengan
nilai-nillai Pancasila. Kasus pelanggaran HAM dapat saja merupakan penyimpangan
terhdap salah satu sila, tetapi perlu diingat bahwa sila-sila Pancasila saling
terkait satu sama lain. Itulah sebabnya, penyimpangan terhadap salah satu sila
dapat menjadi penyimpangan terhadap sila-sila yang lain (Kardiman, 2015). Contoh-contohnya:
1.
Pelanggaan
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pelanggaran
dalam hal ini dapat berupa pelanggaran hak kemerdekaan untuk memeluk agama,
melaksanakan ibadah, dan menghormati perbedaan agama. Contoh pelanggarannya
yaitu peristiwa Tanjung Periok pada tahun 1984. Peristiwa itu dipicu oleh
masalah SARA. Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
antara lain: pengeroyokan, menimbulkan rasa takut, perusakan dan pembakaran
terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko,
apotek dan kendaraan bermotor (Kardiman, 2015).
2.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pelanggaran
dapat berupa perlakuan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Contoh pelanggarannya yaitu: Peristiwa
Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior pada tahun 2001 dan peristiwa Wamena pada
tahun 2003 di Papua. Pada peristiwa Keusuhan Mei 1998 terjadi berbagai tindakan
pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan
paksa, dan pemerkosaan. Kerusuhan itu terjadi di beberapa wilayah seperti
Jakarta, Solo, Lampung, Bandung, Surabaya dan Medan (Kardiman,
2015).
Empat
tahun kemudian terjadi peristiwa Wasior. Pada peristiwa ini diduga telah
terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, perampasan
kemerdekaan, penyiksaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil.
Sementara itu peristiwa Wamena diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi
manusia dalam bentuk pembunuhan, pengusiran penduduk, perampasan penduduk, perampasan
kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang dan penyiksaan (Kardiman, 2015).
3.
Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila
Persatuan Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa tindakan yang tidak mengakui hak akan
kebersamaan sebagai suatu bangsa dan tidak menghargai perbedaan. Contohnya:
peristiwa Aceh pada tahun 1990-1998. Pada sekitar 1989-1990, terjadi gangguan
keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh
Timur. Ketika Gerakan Pengacu Keamanan tidak lagi bisa teratasi, maka
Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai daerah Operasi
Militer (DOM). Pada masa itu pelanggaran HAM terjadi, seperti pembunuhan
massal, penculikan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan pembakaran
desa (Kardiman, 2015).
Selain peristiwa Aceh, peristiwa
di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat 1999 juga termasuk pelanggaran HAM. Pada
saat itu banyak terjadi pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan,
penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan, pengungsian paksa, serta
pembumihangusan. Akibatnya, tidak sedikit penduduk sipil terbunuh dan luka-luka (Kardiman, 2015).
4.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pelanggaran
ini dapat terjadi ketika penyelesaian masalah bersama melupakan musyawarah yang
mengutamakan partisipasi publik dalam menyuarakan aspirasi mereka dan melupakan
musyawarah yang mengutamakan kepentingan bersama. Contohnya yaitu Tragedi
Trisakti I dan Semanggi II. Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Pada
saat itu, ada 4 orang mahasiswa tewas tertembak. Tragedi ini dilatarbelakangi
oleh kondisi perekonomian yang goyah akibat dampak krisis finansial Asia pada awal 1998. Kondisi
ini mengantar para mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi yang mengarah
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri (Kardiman, 2015).
Beberapa bulan setelah tragedi ini, terjadi pula
Tragedi Semanggi I yang mana terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menolak
Sidang Istimewa MPR. Tragedi ini telah menewaskan belasan orang, baik warga
sipil ataupun mahasiswa. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan Tragedi
Semanggi II, dimana pada tanggal 23 September 1999 mahasiswa melakukan demonstrasi
untuk menentang pemberlakuan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU
PKB). Tampaknya pada ketiga tragedi tersebut, ada pelanggaran hak menyampaikan
pendapat (Kardiman, 2015).
5.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Pelanggaran
ini dapat berupa perlakuan yang tidak adil dan seimbang dalam bidang hukum,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Contohnya yaitu kasus Marsinah pada
1993. Marsinah adalah seorang karyawati PT CPS. Marsinah sangat gigih membela
HAM kaum buruh. Karena perjuangannya itu, Marsinah disiksa dan dianiaya. Hal
ini membuat dia meninggal dunia. Kegigihan ini membuat dia menerima Yap Thiam
Hien Award (Kardiman, 2015).
Bentuk
pelanggaran hak asasi manusia di dalam keluarga antara lain dapat ditemukan
dalam berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam RumAh
Tangga menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (Kardiman, 2015).
Contoh
kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
a. Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
b. Kekerasan
psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakuan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan
seksual.
d. Penelantaran
rumah tangga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di
dalam dunia pendidikan bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat
ditemukan dalam kegiatan masa orentasi siswa yang memunculkan kekerasan,
tawuran dan bullying. Bullying adalah penggunaan kekerasan,
ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain (Kardiman,
2015).
Di
dalam masyarakat bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat
ditemukan dalam pertikaian antara kelompok atau antarsuku, perbuatan main hakim
sendiri, tindakan anggota geng motor yang merusak fasilitas umum, ugal-ugalan
dan menyerang orang lain (Kardiman, 2015).
2.2
Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hukum dan HAM
Banyak faktor yang menyebabkan
pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor
Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku
tinggal (naufal, 2014). Faktor-faktor
tersebut diantaranya:
Faktor internal :
No
|
Faktor
|
Penjelasan
|
1.
|
Keadaan psikologis para
pelaku
|
Pelaku dalam keadaan kurang waras,gila,tertekan saat melakukan
pelanggaran hukum dan HAM
|
2.
|
Sifat egois
|
Pelaku hanya memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan perasaan
orang lain terutama orang yang ia langgar hak asasinya
|
3.
|
Tidak toleransi pada orang lain
|
Pelaku tidak memberikan toleransi atau keringanan terhadap suatu masalah,
maupun itu masalah besar atau kecil. Atau bersifat berlebihan
|
4.
|
Tingkat kesadaran pelaku pelanggaran hukum dan HAM
|
Pelaku tidak tau dan tidak mengerti tentang adanya hukum dan HAM
|
5.
|
Tidak memiliki rasa empati dan rasa kemanusiaan
|
Pelaku seenaknya melakukan pelanggaran hukum dan HAM, tanpa memikirkan rasa
kemanusiaan
|
6.
|
Adanya pandangan HAM bersifat individualistik
|
Pelaku merasa bebas karna dia tau dia punya hak sebagai manusia, sehingga
ia mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain dan kepentingan
umum
|
7.
|
Sifat individualis
|
Pelaku tidak ingin bersosalisasi dengan masyarakat
|
8.
|
Adanya dendam
|
Pelaku memiliki dendam terhadap orang lain yang menyebabkan si pelaku
melakukan pelanggaran hukum dan
HAM
|
9.
|
Adanya diskriminasi dari orang yang ada dalam kesehariannya
|
Pelaku sering mendapat perlakuan diskriminasi dari orang terdekatnya
seperti, orang tua, kakak dan teman sekolah
|
Faktor Eksternal :
No
|
Faktor
|
Penjelasan
|
1.
|
Perangkat hukum yang tidak
tegas dan tidak jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
|
Perangkat hukum seperti
polisi, yang tidak tegas sehingga mudah terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
|
2.
|
Struktur sosial dan politik
yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
|
Kesenjangan sosial
memberikan dampak negatif, terlebih memberikan dorongan untuk melakukan
pelanggaran hukum dan HAM
|
3.
|
Kesenjangan ekonomi
|
Adanya penyalahgunaaan
teknologi, umumnya teknologi informasi
|
4.
|
Teknologi yang digunakan
secara salah
|
Tidak adanya penjelasan atas
pelanggaran hukum dan HAM kepada setiap lapisan masyarakat, dan dari setiap umur
|
5.
|
Belum meratanya pemahaman
tentang hukum dan HAM
|
Adanya orang atau pihak yang
membuat pelanggaran hukum dan HAM itu menjadi mudah dilakukan
|
6.
|
Adanya pihak yang membantu
dan mempermudah pelanggaran hukum dan HAM
|
Ketidak tegasan penegak
hukum seperti polisi, hakim, jaksa dalam menangani pelanggaran hukum dan HAM.
Umumnya ini dilakukan dengan cara menyuap
|
7.
|
Kurang berfungsinya
lembaga-lembaga penegak hukum
|
Karena
banyaknya lembaga hukum yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka kini
banyak terjadi pelanggaran hukum dan HAM.
|
2.3 Upaya Penegakan Hukum dan HAM
Pasal
1 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia telah menugaskan
kepada Lembaga Tinggi dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Ketetapan ini telah mendorong gerakan penghormatan dan penegakan HAM di
Indonesia. Berlanjut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahu 1999
tetang HAM sebagai norma yuridis (Kardiman, 2015).
Komitmen
ini menjadi komitmen konstitusional sejak perubahan kedua UUD 1945 diterima
oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000. Pada perubahan itu terdapat 10 pasal
baru yang mengatur pengakuan dan penghormatan HAM.Kemudian pada tahun yang sama
komitmen ini diwujudkan dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Undang-undang ini memungkinkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM berat yang telah terjadi (Kardiman,
2015).
Sebelum
peradilan khusus untuk pelanggaran HAM terbentuk penyelesaian perkara dilakukan
di lembaga peradilan yang ada atau lembaga khusus yang memilik wewenang untuk
itu, seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Praperadilan dan
Komnas HAM (Kardiman, 2015).
Setelah
lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia muncul tonggak baru perlindungan HAM di Indonesia.
Di dalam Undang-undang itu dikatakan bahwa untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat,
perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak asasi Manusia Untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat
(1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Kardiman,
2015).
Dengan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, ada tiga jalur penyelesaian pelanggaran HAM.
Ketiga jalur tersebut antara lain:
a. Penyelesaian
pelanggaran HAM biasa yang telah diatur dalam KUHP maupun Undang-undang yang
lain dilakukan melalui lembaga-lembaga berikut:
1. Peradilan
Umum merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya. Istilah “pada umumnya” yang digunakan
dalam UU Peradilan Umum ini mempunyai makna bahwa “rakyat pencari keadilan”
adalah setiap orang baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing dan
badan hukum perdata yang mencari keadilan (Kardiman, 2015).
2. Peradilan
Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Orang yang dimaksud
dengan “rayat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia
maupun orang asing yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Sengketa dalam tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara. Keputusan tata usha negara adalah suatu ketetapan tertulis yang
berisi tindakan hukum badan tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang menerbitkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum (Kardiman, 2015).
3. Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang hal-hal berikut:
a) Sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b) Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c) Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
4. Komnas
HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan dan mediasi hak asasi manusia (Kardiman, 2015).
b. Penyelesai
pelanggaran HAM berat setelah dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM permanen. Pengadilan
HAM permanen berada di lingkungan peradilan umum (Kardiman,
2015).
c. Penyelesaian
pelanggaran HAM berat sebelum dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas usul DPR RI
berdasarkan pertistiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Peradilan
Umum (Kardiman, 2015).
Penyelesain kasus pelanggaran HAM juga
menjadi Mahkamah Pidana Internasianl (International
Criminal Court / ICC) yang status pembentukannya baru disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia pada Juni 1998 (Kardiman,
2015)
2.4. Hambatan
Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia
Menurut Bambang
(2006:92-93), Ada dua hambatan utama dalam penegakan hukum dan HAM di
Indonesia, diantaranya:
1. Disatu
sisi, belum terciptanya pemerintahan yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya
penegakan hukum dan HAM dan mampu menyelesaikan kebijakan hukum dan HAM secara
efektif, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
2. Disisi
lain, masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil
society) yang mampu menekan
pemerintah secara demokratis, sehingga pemerintah bersedia bersikap lebih
peduli dan serius dalam menjalankan agenda penegakan hukum dan HAM.
Selain kedua hal itu, di Indonesia masih
ada sejumlah hambatan lain yang patut memperoleh perhatian serius dalam
penegakan hukum dan HAM dimasa mendatang, di antaranya:
a. Ada
sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa
hukum dan HAM merupakan produk budaya Barat yang individualistik, karena itu
tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
b. Rendahnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah dan lembaga-lembaga
penegak hukum.
c. Dalam
beberapa tahun terakhir perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada
persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi dari pada penanganan
kasus-kasus HAM.
d. Budaya
feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas
dalam menindak berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh pejabat
atau tokoh masyarakat.
e. Budaya
kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan yang ada diantara mereka.
f. Desentralisasi
yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalistas birokrasi dan kontrol
masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran hukum dan HAM
pada tingkat lokal.
g. Masih
ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi
sistematis terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang minoritas.
h. Berbagai
ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam antar kelompok
masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.
i.
Terjadinya komersialisasi media massa
yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan media massa dalam pemuatan
laporan investigatif mengenai hukum dan HAM dan pembentukan opini untuk
mempromosikan hukum dan HAM.
Menurut (S, 2008), Dalam
penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh pencari
keadilan kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menyebabkan tertutupnya
"pintu" keadilan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
Pertama; Legalitas
(Undang-Undang/Peraturan). Peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan
kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang-undang/Peraturan
untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan.
Seperti adanya tindak pidana melalui internet / cyber crime (sudah disyahkan
DPR tetapi belum diundangkan dalam Lembaran Negara). Saat ini
dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita
ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan
keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah
suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan,
atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia (S, 2008).
Dalam kondisi seperti ini,
permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan
perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang
terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa
permasalahan hukum merupakan permasalahan nyata hampir semua orang. Salah
satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai
ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah
menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar
putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan
keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya (S, 2008).
Kontroversi dalam
penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak
hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus
yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan
pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari
penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama
aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan
hukum pidana adalah untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan
KUHAP akan tetap terjadi kontroversi (S, 2008).
Kedua; Acara/Proses.
Adanya proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya
hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan
ketidakhadiran terdakwa dengan berbagai alasan, sakit misalnya. Selain
alasan itu juga, jaksa terlambat menghadirkan saksi ke muka persidangan. Akibatnya
proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Terlambatnya
peradilan terhadap terdakwa menyebabkan, terdakwa bebas karena vonis yang
dijatuhkan kepada terdakwa sudah habis dipotong masa tahanan (S, 2008).
Ketiga;
Pelaksana/Aparat. Aparat pelaksana penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sering mendapat hambatan tersendiri baik dari para
tersangka maupun para penasehat hukum. Sehingga
para pencari keadilan terutama korban, mau tidak mau harus menunggu dan
mengikuti proses peradilan pidana. Belum lagi adanya proses permohonan
penangguhan penahanan dari tersangka, aparat yang masih sibuk mencari barang
bukti lain, maupun adanya pengacara yang ikut memperkeruh suasana proses
peradilan pidana. Dalam melaksanakan profesinya, ada saja pengacara
yang tidak sesuai dengan tujuan profesinya. Padahal,
pada hakekatnya pengacara mempunyai tujuan untuk sama-sama meluruskan hukum,
mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan bersama-sama profesi hukum
lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim (S, 2008).
Seharusnya pengacara
membantu polisi, jaksa maupun hakim untuk menemukan kebenaran, membantu
mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan
serta memberi masukan kepada hakim dalam memberikan putusannya sehingga sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat (S, 2008).
Menurut Robert Lefcourt
dalam buku Law Against The People, tulisannya mengenai pengacara yang berjudul
“Lawyers for the Poor Can’t Win” mengatakan bahwa bagi kelas bawah seringkali
tidak mendapat perhatian pengacara dalam kasus hukum yang menimpanya. Orang
miskin tidak dapat bersaing jika dihadapkan melawan orang kaya, orang kaya
mempunyai kapasitas untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, sedangkan bagi
orang miskin tidak mendapat perlakukan seperti orang kaya. Selain adanya
hambatan yang disebabkan oleh intervensi pengacara dalam proses peradilan, juga
adanya desakan untuk memberikan perlindungan terhadap para penegak hukum
(terutama hakim) sehingga tidak menjadi sasaran rekan para pelaku kejahatan
yang sedang disidangkan (S, 2008).
Pada umumnya, mayoritas
masyarakat tidak begitu mengerti dengan seluk beluk teknik pemenangan perkara
dalam persidangan. Mereka sama sekali tidak dapat menerima, misalnya jika ada
terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah namun dibebaskan oleh
pengadilan. Karena itu ketidakpuasan masyarakat, juga merupakan suatu indikasi
dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi
petugas hukum dalam menghadapi kasus-kasus (S, 2008).
Keempat; Saksi dan bukti.
Banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup
bukti atau bahkan tidak terbukti justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa
keadilan tersangka/terdakwa. Bagi tersangka/terdakwa
seringkali berupaya untuk menghilangkan barang bukti dan bersikap membuat
pernyataan untuk berbohong di depan penyidik maupun hakim. Hal tersebut
merupakan hal yang wajar, karena setiap pelaku tindak pidana cenderung
menghindari diri dari jeratan hukum maupun hukuman yang sudah diprediksi
sebelumnya ketika melakukan kejahatan. Meskipun ketika akan menjalani
pemeriksaan yang bersangkutan mendapatkan sumpah, namun kecenderungan untuk
menghindar dari jeratan hukum dengan berbohong atau menghilangkan barang bukti
pasti terjadi (S, 2008).
Pada kasus korupsi,
penyidik memfokuskan diri untuk menyidik pelakunya, penelusuran asset yang
dikorup dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan. Sementara penyidikan
berlangsung, apabila pelakunya tidak ditahan, lebih menyedihkan lagi, para
pelaku atau pihak keluarga maupun kuasanya akan dengan leluasa memindahkan
kekayaannya, mereka cepat-cepat memindahtangankan atau menjaminkan kekayaannya
itu. Pihak yang memberi jaminan seperti pembeli, bank atau pihak tertentu,
tentu saja akan menerima penjaminan atau pengalihan kekayaan itu karena
berstatus bebas dan belum disita oleh penyidik. Mungkin
juga, bahwa kekayaan yang belum disita tadi pemindahtanganannya akan disyahkan
oleh notaris. Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena bisa saja pelaku
korupsi yang tengah dalam proses penyidikan memberikan keterangan palsu kepada
notaris seakan-akan kekayaan tersebut belum disita (S, 2008).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelanggaran hukum dan HAM di
Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan
oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh
penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM.
Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor
Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang
disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal. Hukum dan
HAM haruslah ditegakkan, maka dari itu perlu adanya upaya-upaya dalam menegakannya.
Namun, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM di
Indonesia.
3.2 Saran
Penegakan hukum dan HAM sangatlah diperlukan pada zaman ini, maka dari itu
perlu adanya pemahaman yang lebih mengenai hukum dan HAM itu sendiri, agar tidak tejadi kembali
pelanggaran-pelanggaran HAM yang kini semakin memperihatinkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang Suteng, S. W. (2006). Pendidikan
Kewarganegaraan SMA 1. Jakarta: Erlangga.
Faruq, H. A. (2015,
Agustus). Bentuk Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) . Dipetik Maret
22, 2017, dari http://www.habibullahurl.com:http://www.habibullahurl.com
/2015/08/bentuk-pelanggaran-ham.html
Kardiman, Y. (2015). Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
naufal, D. ( 2014,
September). Faktor inter dan eksternal penyebab pelanggaran HAM.
Dipetik Maret 22, 2017, dari dhimasnaufal7.blogspot.co.id:
http://dhimasnaufal7.blogspot.co.id
/2014/09/faktor-inter-dan-eksternal-penyebab.html
Rachmatika, A. (2014,
Agustus 14 ). Penjelasan HAM dan Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia .
Dipetik Maret 22, 2017, dari Pelajar SMA: http://abityarachmatika.
Sblogspot.co.id/2014/08/penjelasan-ham-dan-contoh-kasus.html
S, A. (2008, April 25
). Hambatan dalam Penegakkan Hukum . Dipetik Maret 22, 2017, dari
atang1973.blogspot.co.id:
http://atang1973.blogspot.co.id/2008/04/hambatan-dalam-penegakkan-hukum.html
Samawi, A. (2007). Pendidikan
Hak Asasi Manusia. Jakarta: Depdiknas.
A.
Pilihlah
jawaban yang paling tepat!
1.
Kebiasaan tidak mau antri merupakan
perbuatan yang melanggar Ham. Kebiasaan tersebut merupakan pelanggaran ham
yang bersifat….
A.
Berat
B.
Sedang
C.
Ringan
D.
Tinggi
E.
Rendah
2.
Penjaga palang kereta api lupa menutup
palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga membawa korban
mobil beserta seluruh penumpangnya merupakancontoh dari pelanggaran….
A.
Ham
B.
Norma
C.
Adat
D.
Aturan
E.
Etika
3.
Undang-undang yang mengtur tentang
Pengadilan Ham adalah….
A.
UU No. 11/PNPS/1963
B.
UU No. 39 tahun 1999
C.
UU No. 26 tahun 2000
D.
UU No 20 tahun 2006
E.
UU No. 22 tahun 2002
4.
Perbuatan yang dilakukan untuk
menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok
etnik, atau kelompok agama adalah kejahatan….
A.
Genosida
B.
Ham
C.
Hukum
D.
Kemanusiaan
E.
Umum
5.
Kejahatan dibawah ini merupakan
kejahatan Manusia, kecuali…
A.
pembunuhan
B.
pemusnahan
C.
perbudakan
D.
pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa
E.
membunuh anggota kelompok
B.
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas dan tepat!
1.
Apa yang membedakan kejahatan Genosida
dengan kejahatan manusia? Jelaskan!
2.
Sebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan pelanggaran ham!
3.
Mengapa benyak terjadi kasus
pelanggaran hak asasi manusia?
4.
Bagaimana upaya kita untuk menghindari
pelanggaran hak disekolah, seperti hukuman fisik dan tawuran?
5.
Berikan Pendapat anda mengenai fenomena banyaknya anak yang
putus sekolah dan menjadi anak jalanan!
Kunci jawaban bagian A:
1
C
2
A
3
C
4
A
5
E
Kunci
jawaban bagian B:
1.
Kejahatan genosida adalah perbuatan
yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa
atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama. Contohnya pembunuhan anggota
kelompok suatu agama tertentu. Sementara Kejahatan kemanusiaan adalah suatu
tindakan yang dilakukan untuk menyerang secara sistematik terhadap penduduk
sipil. Contohnya pembudakan.
2.
Faktor yang menyebabkan pelanggaran ham
ada 2, yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut seperti
keadaan psikologis para pelaku. faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar
diri manusia yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan
pelanggaran. Faktor eksternal berupa:
a)
perangkat hukum yang tidak tegas dan
jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
b)
struktur sosial dan politik yang
memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3. arena perbedaan
kepentingan bisa berpotensi terjadi benturan kepentingan yang dapat berakibat
salah satunya mendahulukan ego, sehingga melakukan hal-hal sesuai kehendaknya
yang sebenarnya merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM juga dipicu oleh
rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat atau kurang tegasnya aparat hukum
dalam menindak kasus-kasus pelanggaran HAM.
4.
Pelanggaran hak di sekolah dapat dipicu
oleh banyak hal, misalnya perilaku siswa yang keterlaluan sehingga memancing
amarah guru dan memberikan sanksi berat atau emosi siswa akibat dendam pribadi
sehingga mengajak siswa lain untuk melakukan pengeroyokan. Cara untuk menghindari
hal-hal tersebut misalnya dengan peningkatan kualitas diri dengan menjadi
siswa yang bersikap dan berperilaku santun agar dapat mewujudkan proses
pembelajaran dengan tertib tanpa hambatan yang berarti. Jika ada masalah
hendaknya dibicarakan secara kekeluargaan dengan meminta bantuan mediator agar
masalah dapat selesai tanpa adanya tindakan kekerasan.
5.
Meski sekolah merupakan HAK kita dan orang tua
berkewajiban membiayai, namun bukan mereka tidak mau sekolah mereka memikirkan
ekonomi dan kondisi mereka yang mungkin tidak berdaya untuk melanjutan sekolah.
Mereka terpaksa merelakan masa muda mereka sebagai anak jalanan yang pasti
tidak berpendidikan dan bergaul dengan teman seperti apa saja. Seharusnya
pemerintah melihat fenomena seperti ini karena mereka merupakan generasi
penerus bangsa Indonesia, pemerintah wajib memberikan keringanan kepada anak
anak untuk bisa bersekolah seperti orang lain.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya
memiliki hak yang sama, karena Hak Asasi Manusia itu merupakan unsur normatif
yang melekat pada diri setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan
sampai akhir hidupnya. Didalam pemenuhan HAM pada dirinya sendiri tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan antar individu. Hal inilah yang kemudian bisa
memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya. Bahkan banyak orang yang melanggar hukum
karena terlalu mementingkan haknya sendiri. Jenis-jenis pelanggaran hukum dan
HAM ini sangat banyak ragamnya. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi karena
berbagai faktor.
Setelah reformasi tahun 1998,
Indonesia mengalami kemajuan dalam bidang penegakan hukum dan HAM bagi seluruh
warganya. Instrumen-instrumen HAM didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan hukum dan HAM yang lebih optimal.
Namun seiring dengan kemajuan ini, banyak hambatan yang harus dihadapi
dalam penegakan hukum dan HAM ini. Maka dari itu penegakan HAM seakan sulit
untuk dilakukan. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji tentang
jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa sajakah jenis-jenis
pelanggaran hukum dan HAM?
2.
Apa sajakah faktor yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM?
3.
Bagaimanakah upaya penegakan
hukum dan HAM?
4.
Apakah
yang menghambat penegakan hukum dan HAM?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengidentifikasi
jenis-jenis pelanggaran hukum dan HAM.
2.
Untuk menganalisa faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3.
Untuk menganalisa upaya
penegakan hukum dan HAM.
4.
Untuk mengidentifikasi
hambatan-hambatan dalam penegakan hukum dan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis-jenis Pelanggaran Hukum dan HAM
Pelanggaran
hukum dan HAM di Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling
banyak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok,
maupun oleh penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan
pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang,
hingga yang berat. Pelanggaran HAM dimulai ketika hak dan kewajiban tidak
berjalan secara seimbang.
Apabila suatu kewajiban untuk memberikan hak kepada orang lain tidak dilakukan,
maka disitu lah terjadi pelanggaran HAM (Samawi, 2007).
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999
yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku (Rachmatika, 2014).
Jadi pelanggaran hukum
dan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau lembaga dengan
sengaja atau tidak sengaja dapat menghambat, mengurangi, membatasi, mencabut,
dan atau merampas hak dari orang lain sehingga dapat merendahkan derajat dan
martabat manusia. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang direncanakan dan
dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melanggar hukum dan HAM (Samawi, 2007).
Contohnya: seorang pengendara sepeda
motor atau mobil sengaja melanggar rambu lampu merah di persimpangan jalan.
Pelanggaran hukum dan ham yang dilakukan tanpa sengaja adalah semua perbuatan
yang karena kelalainnya dapat mengakibatkan pelanggaran. Contohnya, penjaga
palang kereta api lupa menutup palang kereta api sehingga terjadi tabrakan
keras dan juga mengakibatkan korban mobil beserta seluruh penumpangnya (Samawi, 2007).
Pelanggaran
hukum dan HAM dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Pelanggaran
hukum dan HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan,
yakni pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya
apabila tidak segera diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam
memberikan pelayanan kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh
masyarakat dan sebagainya (Faruq, 2015).
Pelanggaran ham ringan sering dilakukan orang tetapi
tidak dirasakan sebagai pelanggaran. Pelanggaran ringan tersebut terkait dengan
pola budaya dan kebiasaan perilaku masyarakat. Misalnya, kebiasaan tidak mau
antri, menyeberang tidak pada tempatnya, membuang sampah tidak pada tempatnya.
Akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran hukum dan HAM ringan ini memang tidak
begitu dirasakan oleh orang lain tetapi membuat tidak ada ketertiban (Samawi, 2007).
Pelanggaran
hukum dan HAM ringan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dilakukan oleh
siapa saja. Hal ini dapat terjadi karena sanksinya tidak begitu tegas dan tidak
berat sehingga para pelaku merasakan bukan sebagai suatu pelanggaran (Samawi, 2007).
b) Pelanggaran
Hukum dan HAM berat
Pelanggaran HAM berat, yakni
pelanggaran HAM yang bersifat berbahaya, dan mengancam nyawa manusia, seperti
halnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan, perbudakan, penyanderaan dan lain
sebagainya (Faruq, 2015).
Berbagai pelanggaran HAM di bidang sosial publik
dimulai dari tindakan manusia mengeksploitasi alam menimbulkan kerusakan
ekologi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menjaga kelestarian dan kelangsungan
alami akan merusak sumber daya alam dan sumber daya hayati. Akibatnya
menimbulkan kerusakan ekosistem yang hebat sehingga hak public untuk menikmati
kehidupan ekosistem yang sehat menjadi terganggu (Samawi, 2007).
Pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni :
1.
Kejahatan Genosida. Merupakan setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh maupun sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok, maupun agama dengan cara:
a)
Membunuh setiap anggota kelompok.
b)
Mengakibatkan terjadinya penderitaan fisik dan mental
yang berat terhadap anggota kelompok.
c)
Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang bisa
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d)
Memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
dalam kelompok yang lain.
2.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan
suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :
a)
Pembunuhan.
b)
Pemusnahan.
c)
Perbudakan.
d)
Pengusiran atau pemindahan penduduk yang dilakukan
secara paksa.
e)
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain dengan sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
f)
Penyiksaan.
g)
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau segala
bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h)
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu maupun
perkumpulan yang didasari dengan persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i)
Penghilangan orang secara paksa.
j)
Kejahatan apartheid, yakni sistem pemisahan ras yang
diterapkan oleh suatu pemerintahan bertujuan untuk melindungi hak istimewa dari
suatu ras atau bangsa.
Pelanggaran
HAM (Hak Asasi Manusia) di atas pada dasarnya adalah bentuk pelanggaran kepada
hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap
manusia. Selain itu pula, pelanggaran HAM berat merupakan bentuk penghinaan
terhadap harkat, derajat dan martabat manusia (Faruq, 2015).
Ada
berbarapa kasus pelangaran HAM yang terjadi di Indonesia. Jika dilihat dari
perspektif Pancasila, pelanggaran HAM tentu saja bertentangan dengan
nilai-nillai Pancasila. Kasus pelanggaran HAM dapat saja merupakan penyimpangan
terhdap salah satu sila, tetapi perlu diingat bahwa sila-sila Pancasila saling
terkait satu sama lain. Itulah sebabnya, penyimpangan terhadap salah satu sila
dapat menjadi penyimpangan terhadap sila-sila yang lain (Kardiman, 2015). Contoh-contohnya:
1.
Pelanggaan
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pelanggaran
dalam hal ini dapat berupa pelanggaran hak kemerdekaan untuk memeluk agama,
melaksanakan ibadah, dan menghormati perbedaan agama. Contoh pelanggarannya
yaitu peristiwa Tanjung Periok pada tahun 1984. Peristiwa itu dipicu oleh
masalah SARA. Dari analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
antara lain: pengeroyokan, menimbulkan rasa takut, perusakan dan pembakaran
terhadap hak milik anggota masyarakat lain atas rumah ibadah, rumah, toko,
apotek dan kendaraan bermotor (Kardiman, 2015).
2.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pelanggaran
dapat berupa perlakuan terhadap orang lain yang tidak sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Contoh pelanggarannya yaitu: Peristiwa
Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior pada tahun 2001 dan peristiwa Wamena pada
tahun 2003 di Papua. Pada peristiwa Keusuhan Mei 1998 terjadi berbagai tindakan
pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan
paksa, dan pemerkosaan. Kerusuhan itu terjadi di beberapa wilayah seperti
Jakarta, Solo, Lampung, Bandung, Surabaya dan Medan (Kardiman,
2015).
Empat
tahun kemudian terjadi peristiwa Wasior. Pada peristiwa ini diduga telah
terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pembunuhan, perampasan
kemerdekaan, penyiksaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil.
Sementara itu peristiwa Wamena diduga telah terjadi pelanggaran hak asasi
manusia dalam bentuk pembunuhan, pengusiran penduduk, perampasan penduduk, perampasan
kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang dan penyiksaan (Kardiman, 2015).
3.
Pelanggaran HAM sebagai penyimpangan terhadap sila
Persatuan Indonesia.
Pelanggaran ini dapat berupa tindakan yang tidak mengakui hak akan
kebersamaan sebagai suatu bangsa dan tidak menghargai perbedaan. Contohnya:
peristiwa Aceh pada tahun 1990-1998. Pada sekitar 1989-1990, terjadi gangguan
keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh
Timur. Ketika Gerakan Pengacu Keamanan tidak lagi bisa teratasi, maka
Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai daerah Operasi
Militer (DOM). Pada masa itu pelanggaran HAM terjadi, seperti pembunuhan
massal, penculikan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan pembakaran
desa (Kardiman, 2015).
Selain peristiwa Aceh, peristiwa
di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat 1999 juga termasuk pelanggaran HAM. Pada
saat itu banyak terjadi pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan,
penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan, pengungsian paksa, serta
pembumihangusan. Akibatnya, tidak sedikit penduduk sipil terbunuh dan luka-luka (Kardiman, 2015).
4.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pelanggaran
ini dapat terjadi ketika penyelesaian masalah bersama melupakan musyawarah yang
mengutamakan partisipasi publik dalam menyuarakan aspirasi mereka dan melupakan
musyawarah yang mengutamakan kepentingan bersama. Contohnya yaitu Tragedi
Trisakti I dan Semanggi II. Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Pada
saat itu, ada 4 orang mahasiswa tewas tertembak. Tragedi ini dilatarbelakangi
oleh kondisi perekonomian yang goyah akibat dampak krisis finansial Asia pada awal 1998. Kondisi
ini mengantar para mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi yang mengarah
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri (Kardiman, 2015).
Beberapa bulan setelah tragedi ini, terjadi pula
Tragedi Semanggi I yang mana terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menolak
Sidang Istimewa MPR. Tragedi ini telah menewaskan belasan orang, baik warga
sipil ataupun mahasiswa. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan Tragedi
Semanggi II, dimana pada tanggal 23 September 1999 mahasiswa melakukan demonstrasi
untuk menentang pemberlakuan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU
PKB). Tampaknya pada ketiga tragedi tersebut, ada pelanggaran hak menyampaikan
pendapat (Kardiman, 2015).
5.
Pelanggaran
HAM sebagai penyimpangan terhadap sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Pelanggaran
ini dapat berupa perlakuan yang tidak adil dan seimbang dalam bidang hukum,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Contohnya yaitu kasus Marsinah pada
1993. Marsinah adalah seorang karyawati PT CPS. Marsinah sangat gigih membela
HAM kaum buruh. Karena perjuangannya itu, Marsinah disiksa dan dianiaya. Hal
ini membuat dia meninggal dunia. Kegigihan ini membuat dia menerima Yap Thiam
Hien Award (Kardiman, 2015).
Bentuk
pelanggaran hak asasi manusia di dalam keluarga antara lain dapat ditemukan
dalam berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam RumAh
Tangga menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (Kardiman, 2015).
Contoh
kekerasan dalam rumah tangga antara lain:
a. Kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
b. Kekerasan
psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakuan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan
seksual.
d. Penelantaran
rumah tangga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di
dalam dunia pendidikan bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat
ditemukan dalam kegiatan masa orentasi siswa yang memunculkan kekerasan,
tawuran dan bullying. Bullying adalah penggunaan kekerasan,
ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain (Kardiman,
2015).
Di
dalam masyarakat bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain dapat
ditemukan dalam pertikaian antara kelompok atau antarsuku, perbuatan main hakim
sendiri, tindakan anggota geng motor yang merusak fasilitas umum, ugal-ugalan
dan menyerang orang lain (Kardiman, 2015).
2.2
Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hukum dan HAM
Banyak faktor yang menyebabkan
pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor
Eksternal yang disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku
tinggal (naufal, 2014). Faktor-faktor
tersebut diantaranya:
Faktor internal :
No
|
Faktor
|
Penjelasan
|
1.
|
Keadaan psikologis para
pelaku
|
Pelaku dalam keadaan kurang waras,gila,tertekan saat melakukan
pelanggaran hukum dan HAM
|
2.
|
Sifat egois
|
Pelaku hanya memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan perasaan
orang lain terutama orang yang ia langgar hak asasinya
|
3.
|
Tidak toleransi pada orang lain
|
Pelaku tidak memberikan toleransi atau keringanan terhadap suatu masalah,
maupun itu masalah besar atau kecil. Atau bersifat berlebihan
|
4.
|
Tingkat kesadaran pelaku pelanggaran hukum dan HAM
|
Pelaku tidak tau dan tidak mengerti tentang adanya hukum dan HAM
|
5.
|
Tidak memiliki rasa empati dan rasa kemanusiaan
|
Pelaku seenaknya melakukan pelanggaran hukum dan HAM, tanpa memikirkan rasa
kemanusiaan
|
6.
|
Adanya pandangan HAM bersifat individualistik
|
Pelaku merasa bebas karna dia tau dia punya hak sebagai manusia, sehingga
ia mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain dan kepentingan
umum
|
7.
|
Sifat individualis
|
Pelaku tidak ingin bersosalisasi dengan masyarakat
|
8.
|
Adanya dendam
|
Pelaku memiliki dendam terhadap orang lain yang menyebabkan si pelaku
melakukan pelanggaran hukum dan
HAM
|
9.
|
Adanya diskriminasi dari orang yang ada dalam kesehariannya
|
Pelaku sering mendapat perlakuan diskriminasi dari orang terdekatnya
seperti, orang tua, kakak dan teman sekolah
|
Faktor Eksternal :
No
|
Faktor
|
Penjelasan
|
1.
|
Perangkat hukum yang tidak
tegas dan tidak jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
|
Perangkat hukum seperti
polisi, yang tidak tegas sehingga mudah terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
|
2.
|
Struktur sosial dan politik
yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM
|
Kesenjangan sosial
memberikan dampak negatif, terlebih memberikan dorongan untuk melakukan
pelanggaran hukum dan HAM
|
3.
|
Kesenjangan ekonomi
|
Adanya penyalahgunaaan
teknologi, umumnya teknologi informasi
|
4.
|
Teknologi yang digunakan
secara salah
|
Tidak adanya penjelasan atas
pelanggaran hukum dan HAM kepada setiap lapisan masyarakat, dan dari setiap umur
|
5.
|
Belum meratanya pemahaman
tentang hukum dan HAM
|
Adanya orang atau pihak yang
membuat pelanggaran hukum dan HAM itu menjadi mudah dilakukan
|
6.
|
Adanya pihak yang membantu
dan mempermudah pelanggaran hukum dan HAM
|
Ketidak tegasan penegak
hukum seperti polisi, hakim, jaksa dalam menangani pelanggaran hukum dan HAM.
Umumnya ini dilakukan dengan cara menyuap
|
7.
|
Kurang berfungsinya
lembaga-lembaga penegak hukum
|
Karena
banyaknya lembaga hukum yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka kini
banyak terjadi pelanggaran hukum dan HAM.
|
2.3 Upaya Penegakan Hukum dan HAM
Pasal
1 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia telah menugaskan
kepada Lembaga Tinggi dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Ketetapan ini telah mendorong gerakan penghormatan dan penegakan HAM di
Indonesia. Berlanjut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 39 Tahu 1999
tetang HAM sebagai norma yuridis (Kardiman, 2015).
Komitmen
ini menjadi komitmen konstitusional sejak perubahan kedua UUD 1945 diterima
oleh MPR pada tanggal 18 Agustus 2000. Pada perubahan itu terdapat 10 pasal
baru yang mengatur pengakuan dan penghormatan HAM.Kemudian pada tahun yang sama
komitmen ini diwujudkan dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Undang-undang ini memungkinkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM berat yang telah terjadi (Kardiman,
2015).
Sebelum
peradilan khusus untuk pelanggaran HAM terbentuk penyelesaian perkara dilakukan
di lembaga peradilan yang ada atau lembaga khusus yang memilik wewenang untuk
itu, seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Praperadilan dan
Komnas HAM (Kardiman, 2015).
Setelah
lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia muncul tonggak baru perlindungan HAM di Indonesia.
Di dalam Undang-undang itu dikatakan bahwa untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat,
perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak asasi Manusia Untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat
(1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Kardiman,
2015).
Dengan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, ada tiga jalur penyelesaian pelanggaran HAM.
Ketiga jalur tersebut antara lain:
a. Penyelesaian
pelanggaran HAM biasa yang telah diatur dalam KUHP maupun Undang-undang yang
lain dilakukan melalui lembaga-lembaga berikut:
1. Peradilan
Umum merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya. Istilah “pada umumnya” yang digunakan
dalam UU Peradilan Umum ini mempunyai makna bahwa “rakyat pencari keadilan”
adalah setiap orang baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing dan
badan hukum perdata yang mencari keadilan (Kardiman, 2015).
2. Peradilan
Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Orang yang dimaksud
dengan “rayat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia
maupun orang asing yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Sengketa dalam tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara. Keputusan tata usha negara adalah suatu ketetapan tertulis yang
berisi tindakan hukum badan tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang menerbitkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum (Kardiman, 2015).
3. Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang hal-hal berikut:
a) Sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b) Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c) Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
4. Komnas
HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan dan mediasi hak asasi manusia (Kardiman, 2015).
b. Penyelesai
pelanggaran HAM berat setelah dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM permanen. Pengadilan
HAM permanen berada di lingkungan peradilan umum (Kardiman,
2015).
c. Penyelesaian
pelanggaran HAM berat sebelum dibentuknya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas usul DPR RI
berdasarkan pertistiwa tertentu dengan keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan Peradilan
Umum (Kardiman, 2015).
Penyelesain kasus pelanggaran HAM juga
menjadi Mahkamah Pidana Internasianl (International
Criminal Court / ICC) yang status pembentukannya baru disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia pada Juni 1998 (Kardiman,
2015)
2.4. Hambatan
Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia
Menurut Bambang
(2006:92-93), Ada dua hambatan utama dalam penegakan hukum dan HAM di
Indonesia, diantaranya:
1. Disatu
sisi, belum terciptanya pemerintahan yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya
penegakan hukum dan HAM dan mampu menyelesaikan kebijakan hukum dan HAM secara
efektif, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
2. Disisi
lain, masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil
society) yang mampu menekan
pemerintah secara demokratis, sehingga pemerintah bersedia bersikap lebih
peduli dan serius dalam menjalankan agenda penegakan hukum dan HAM.
Selain kedua hal itu, di Indonesia masih
ada sejumlah hambatan lain yang patut memperoleh perhatian serius dalam
penegakan hukum dan HAM dimasa mendatang, di antaranya:
a. Ada
sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa
hukum dan HAM merupakan produk budaya Barat yang individualistik, karena itu
tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
b. Rendahnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah dan lembaga-lembaga
penegak hukum.
c. Dalam
beberapa tahun terakhir perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada
persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi dari pada penanganan
kasus-kasus HAM.
d. Budaya
feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas
dalam menindak berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh pejabat
atau tokoh masyarakat.
e. Budaya
kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan yang ada diantara mereka.
f. Desentralisasi
yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalistas birokrasi dan kontrol
masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran hukum dan HAM
pada tingkat lokal.
g. Masih
ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi
sistematis terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang minoritas.
h. Berbagai
ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam antar kelompok
masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.
i.
Terjadinya komersialisasi media massa
yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan media massa dalam pemuatan
laporan investigatif mengenai hukum dan HAM dan pembentukan opini untuk
mempromosikan hukum dan HAM.
Menurut (S, 2008), Dalam
penegakan hukum guna mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan oleh pencari
keadilan kadang-kadang terbentur dengan adanya hambatan menyebabkan tertutupnya
"pintu" keadilan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
Pertama; Legalitas
(Undang-Undang/Peraturan). Peraturan yang mengatur dalam penegakan hukum dirasakan
kurang lengkap dan memadai atau bahkan tidak ada Undang-undang/Peraturan
untuk menjerat para pelaku tindak pidana, sehingga korban lebih dirugikan.
Seperti adanya tindak pidana melalui internet / cyber crime (sudah disyahkan
DPR tetapi belum diundangkan dalam Lembaran Negara). Saat ini
dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita
ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan
keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah
suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan,
atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia (S, 2008).
Dalam kondisi seperti ini,
permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan
perlindungan atas hak milik dari segelintir orang. Yang
terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa
permasalahan hukum merupakan permasalahan nyata hampir semua orang. Salah
satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai
ruang “sakral” di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah
menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar
putusannya. Sedangkan persoalan dan perkara hukum menjadi komoditinya dan
keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan menjadi taruhan utamanya (S, 2008).
Kontroversi dalam
penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak
hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus
yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan
pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari
penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama
aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan
hukum pidana adalah untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan
KUHAP akan tetap terjadi kontroversi (S, 2008).
Kedua; Acara/Proses.
Adanya proses peradilan yang sering berjalan lambat, menyebabkan terhambatnya
hakim dalam memutuskan vonis. Alasan keterlambatan tersebut bisa dikarenakan
ketidakhadiran terdakwa dengan berbagai alasan, sakit misalnya. Selain
alasan itu juga, jaksa terlambat menghadirkan saksi ke muka persidangan. Akibatnya
proses peradilan berjalan lambat bahkan terkesan terkatung-katung. Terlambatnya
peradilan terhadap terdakwa menyebabkan, terdakwa bebas karena vonis yang
dijatuhkan kepada terdakwa sudah habis dipotong masa tahanan (S, 2008).
Ketiga;
Pelaksana/Aparat. Aparat pelaksana penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sering mendapat hambatan tersendiri baik dari para
tersangka maupun para penasehat hukum. Sehingga
para pencari keadilan terutama korban, mau tidak mau harus menunggu dan
mengikuti proses peradilan pidana. Belum lagi adanya proses permohonan
penangguhan penahanan dari tersangka, aparat yang masih sibuk mencari barang
bukti lain, maupun adanya pengacara yang ikut memperkeruh suasana proses
peradilan pidana. Dalam melaksanakan profesinya, ada saja pengacara
yang tidak sesuai dengan tujuan profesinya. Padahal,
pada hakekatnya pengacara mempunyai tujuan untuk sama-sama meluruskan hukum,
mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan bersama-sama profesi hukum
lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim (S, 2008).
Seharusnya pengacara
membantu polisi, jaksa maupun hakim untuk menemukan kebenaran, membantu
mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan
serta memberi masukan kepada hakim dalam memberikan putusannya sehingga sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat (S, 2008).
Menurut Robert Lefcourt
dalam buku Law Against The People, tulisannya mengenai pengacara yang berjudul
“Lawyers for the Poor Can’t Win” mengatakan bahwa bagi kelas bawah seringkali
tidak mendapat perhatian pengacara dalam kasus hukum yang menimpanya. Orang
miskin tidak dapat bersaing jika dihadapkan melawan orang kaya, orang kaya
mempunyai kapasitas untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, sedangkan bagi
orang miskin tidak mendapat perlakukan seperti orang kaya. Selain adanya
hambatan yang disebabkan oleh intervensi pengacara dalam proses peradilan, juga
adanya desakan untuk memberikan perlindungan terhadap para penegak hukum
(terutama hakim) sehingga tidak menjadi sasaran rekan para pelaku kejahatan
yang sedang disidangkan (S, 2008).
Pada umumnya, mayoritas
masyarakat tidak begitu mengerti dengan seluk beluk teknik pemenangan perkara
dalam persidangan. Mereka sama sekali tidak dapat menerima, misalnya jika ada
terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah namun dibebaskan oleh
pengadilan. Karena itu ketidakpuasan masyarakat, juga merupakan suatu indikasi
dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi
petugas hukum dalam menghadapi kasus-kasus (S, 2008).
Keempat; Saksi dan bukti.
Banyak kasus yang divonis bebas oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak cukup
bukti atau bahkan tidak terbukti justru merugikan dan tidak sesuai dengan rasa
keadilan tersangka/terdakwa. Bagi tersangka/terdakwa
seringkali berupaya untuk menghilangkan barang bukti dan bersikap membuat
pernyataan untuk berbohong di depan penyidik maupun hakim. Hal tersebut
merupakan hal yang wajar, karena setiap pelaku tindak pidana cenderung
menghindari diri dari jeratan hukum maupun hukuman yang sudah diprediksi
sebelumnya ketika melakukan kejahatan. Meskipun ketika akan menjalani
pemeriksaan yang bersangkutan mendapatkan sumpah, namun kecenderungan untuk
menghindar dari jeratan hukum dengan berbohong atau menghilangkan barang bukti
pasti terjadi (S, 2008).
Pada kasus korupsi,
penyidik memfokuskan diri untuk menyidik pelakunya, penelusuran asset yang
dikorup dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan. Sementara penyidikan
berlangsung, apabila pelakunya tidak ditahan, lebih menyedihkan lagi, para
pelaku atau pihak keluarga maupun kuasanya akan dengan leluasa memindahkan
kekayaannya, mereka cepat-cepat memindahtangankan atau menjaminkan kekayaannya
itu. Pihak yang memberi jaminan seperti pembeli, bank atau pihak tertentu,
tentu saja akan menerima penjaminan atau pengalihan kekayaan itu karena
berstatus bebas dan belum disita oleh penyidik. Mungkin
juga, bahwa kekayaan yang belum disita tadi pemindahtanganannya akan disyahkan
oleh notaris. Hal tersebut mungkin saja terjadi, karena bisa saja pelaku
korupsi yang tengah dalam proses penyidikan memberikan keterangan palsu kepada
notaris seakan-akan kekayaan tersebut belum disita (S, 2008).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelanggaran hukum dan HAM di
Indonesia telah banyak terjadi. Pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan
oleh semua lapisan masyarakat, baik oleh individu, kelompok, maupun oleh
penegak itu sendiri. Pelanggaran hukum selalu terkait dengan pelanggaran HAM.
Pelanggaran tersebut mulai dari pelanggaran ringan, sedang, hingga yang berat. Banyak faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM didunia ini. Ada faktor
Internal yang disebabkan oleh pelaku itu sendiri, atau faktor Eksternal yang
disebabkan oleh keluarga,teman,saudara dan lingkungan dimana pelaku tinggal. Hukum dan
HAM haruslah ditegakkan, maka dari itu perlu adanya upaya-upaya dalam menegakannya.
Namun, banyak hambatan yang harus dihadapi dalam penegakan hukum dan HAM di
Indonesia.
3.2 Saran
Penegakan hukum dan HAM sangatlah diperlukan pada zaman ini, maka dari itu
perlu adanya pemahaman yang lebih mengenai hukum dan HAM itu sendiri, agar tidak tejadi kembali
pelanggaran-pelanggaran HAM yang kini semakin memperihatinkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang Suteng, S. W. (2006). Pendidikan
Kewarganegaraan SMA 1. Jakarta: Erlangga.
Faruq, H. A. (2015,
Agustus). Bentuk Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) . Dipetik Maret
22, 2017, dari http://www.habibullahurl.com:http://www.habibullahurl.com
/2015/08/bentuk-pelanggaran-ham.html
Kardiman, Y. (2015). Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.
naufal, D. ( 2014,
September). Faktor inter dan eksternal penyebab pelanggaran HAM.
Dipetik Maret 22, 2017, dari dhimasnaufal7.blogspot.co.id:
http://dhimasnaufal7.blogspot.co.id
/2014/09/faktor-inter-dan-eksternal-penyebab.html
Rachmatika, A. (2014,
Agustus 14 ). Penjelasan HAM dan Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia .
Dipetik Maret 22, 2017, dari Pelajar SMA: http://abityarachmatika.
Sblogspot.co.id/2014/08/penjelasan-ham-dan-contoh-kasus.html
S, A. (2008, April 25
). Hambatan dalam Penegakkan Hukum . Dipetik Maret 22, 2017, dari
atang1973.blogspot.co.id:
http://atang1973.blogspot.co.id/2008/04/hambatan-dalam-penegakkan-hukum.html
Samawi, A. (2007). Pendidikan
Hak Asasi Manusia. Jakarta: Depdiknas.
A.
Pilihlah
jawaban yang paling tepat!
1.
Kebiasaan tidak mau antri merupakan
perbuatan yang melanggar Ham. Kebiasaan tersebut merupakan pelanggaran ham
yang bersifat….
A.
Berat
B.
Sedang
C.
Ringan
D.
Tinggi
E.
Rendah
2.
Penjaga palang kereta api lupa menutup
palang kereta api sehingga terjadi tabrakan keras dan juga membawa korban
mobil beserta seluruh penumpangnya merupakancontoh dari pelanggaran….
A.
Ham
B.
Norma
C.
Adat
D.
Aturan
E.
Etika
3.
Undang-undang yang mengtur tentang
Pengadilan Ham adalah….
A.
UU No. 11/PNPS/1963
B.
UU No. 39 tahun 1999
C.
UU No. 26 tahun 2000
D.
UU No 20 tahun 2006
E.
UU No. 22 tahun 2002
4.
Perbuatan yang dilakukan untuk
menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa atau ras, kelompok
etnik, atau kelompok agama adalah kejahatan….
A.
Genosida
B.
Ham
C.
Hukum
D.
Kemanusiaan
E.
Umum
5.
Kejahatan dibawah ini merupakan
kejahatan Manusia, kecuali…
A.
pembunuhan
B.
pemusnahan
C.
perbudakan
D.
pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa
E.
membunuh anggota kelompok
B.
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas dan tepat!
1.
Apa yang membedakan kejahatan Genosida
dengan kejahatan manusia? Jelaskan!
2.
Sebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan pelanggaran ham!
3.
Mengapa benyak terjadi kasus
pelanggaran hak asasi manusia?
4.
Bagaimana upaya kita untuk menghindari
pelanggaran hak disekolah, seperti hukuman fisik dan tawuran?
5.
Berikan Pendapat anda mengenai fenomena banyaknya anak yang
putus sekolah dan menjadi anak jalanan!
Kunci jawaban bagian A:
1
C
2
A
3
C
4
A
5
E
Kunci
jawaban bagian B:
1.
Kejahatan genosida adalah perbuatan
yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagaian kelompok bangsa
atau ras, kelompok etnik, atau kelompok agama. Contohnya pembunuhan anggota
kelompok suatu agama tertentu. Sementara Kejahatan kemanusiaan adalah suatu
tindakan yang dilakukan untuk menyerang secara sistematik terhadap penduduk
sipil. Contohnya pembudakan.
2.
Faktor yang menyebabkan pelanggaran ham
ada 2, yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut seperti
keadaan psikologis para pelaku. faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar
diri manusia yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan
pelanggaran. Faktor eksternal berupa:
a)
perangkat hukum yang tidak tegas dan
jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
b)
struktur sosial dan politik yang
memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum dan HAM.
3.
Karena perbedaan
kepentingan bisa berpotensi terjadi benturan kepentingan yang dapat berakibat
salah satunya mendahulukan ego, sehingga melakukan hal-hal sesuai kehendaknya
yang sebenarnya merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM juga dipicu oleh
rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat atau kurang tegasnya aparat hukum
dalam menindak kasus-kasus pelanggaran HAM.
4.
Pelanggaran hak di sekolah dapat dipicu
oleh banyak hal, misalnya perilaku siswa yang keterlaluan sehingga memancing
amarah guru dan memberikan sanksi berat atau emosi siswa akibat dendam pribadi
sehingga mengajak siswa lain untuk melakukan pengeroyokan. Cara untuk menghindari
hal-hal tersebut misalnya dengan peningkatan kualitas diri dengan menjadi
siswa yang bersikap dan berperilaku santun agar dapat mewujudkan proses
pembelajaran dengan tertib tanpa hambatan yang berarti. Jika ada masalah
hendaknya dibicarakan secara kekeluargaan dengan meminta bantuan mediator agar
masalah dapat selesai tanpa adanya tindakan kekerasan.
5.
Meski sekolah merupakan HAK kita dan orang tua
berkewajiban membiayai, namun bukan mereka tidak mau sekolah mereka memikirkan
ekonomi dan kondisi mereka yang mungkin tidak berdaya untuk melanjutan sekolah.
Mereka terpaksa merelakan masa muda mereka sebagai anak jalanan yang pasti
tidak berpendidikan dan bergaul dengan teman seperti apa saja. Seharusnya
pemerintah melihat fenomena seperti ini karena mereka merupakan generasi
penerus bangsa Indonesia, pemerintah wajib memberikan keringanan kepada anak
anak untuk bisa bersekolah seperti orang lain.