BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pernikahan
Pernikahan atau nikah
berasal dari bahasa Arab yaitu an-nikah.
Nikah secara harfiah artinya “himpunan” (ad-dammu),
“kumpulan (al-jam’u), atau “hubungan intim” (al-wat’u). Nikah
secara syar’i adalah akad yang memolehkan
(halal) hubungan intim dengan menggunakan kata ‘ankah tuka’ (menikahkan),
‘zawwajtuka’ (mengawinkan), atau terjemahan keduanya. (Sadi, 2015)
Menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa: Perkawinan merupakan ikatan lahir
dan batin antara seorang wanita dengan
seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ibadah nikah dikatakan
sah apabila dipenuhi rukun nikahnya, yakni:
a.
Akad
Aqad terdiri dari ijab yang berarti
perkataan dari pihak wali perempuan, dan qabul berarti penerimaan dari pihak
mempelai laki-laki.
Adapun dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz
atau kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya:
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan,
sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. (HR. Muslim)
b.
Wali calon istri
Hendaknya seorang wanita dinikahkan oleh
walinya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya: Tiada nikah
kecuali hanya dengan wali. (H.R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad-
Darami)
Jika wanita menikah sendiri tanpa wali
maka nikahnya batal (bathil), sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ
بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ
Artinya: Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal.
Seorang wali dilarang
untuk menghalangi suatu pernikahan sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Baqarah
ayat 232 yang berbunyi:
Artinya: apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka deng an cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.
itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.
Seorang wanita tidak
dapat menjadi wali atas pernikahan wanita lain, termasuk dalam pernikahannya
sendiri, karena seorang wanita menjadi tanggung jawab seorang wali, kecuali
wanita pezina. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: Wanita tidak boleh
menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri.
Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.(HR. Daruquthni)
Dengan demikian seorang wanita yang melakukan kawin lari,
artinya tanpa seizin seorang wali, pernikahan tersebut batal. Karena keberadaan
wali menjadi rukun dalam proses akad nikah. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang
artinya: Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika
seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia
dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai
wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.(HR.
Abu Daud)
Ada beberapa persyaratan untuk menjadi
wali secara umum yakni:
1.
Islam
Orang
yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab
orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal
ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam QS. At- Taubah ayat 71
yang berbunyi:
Artinya: Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah
Swt berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 28 yang berbunyi:
Artinya:
janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
2. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena
kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara
sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah Saw. bersabda yang
artinya: Dari Ali ra. dari Nabi Saw. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan
atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai
ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang
gila sehingga ia sembuh dari gilanya. ( H.R. Abu Daud)
Hadits diatas memberikan pengertian bahwa
anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah
dewasa.
3. Laki-laki
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali
untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi
perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah Saw. yang artinya: Dari Abu Hurairah
ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan
wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan
Ad-Daruquthni ).
4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang
menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang
yang berakal sehat. Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan
orang gila tidak sah menjadi wali.
5.
Tidak sedang berihram haji ataupun umrah,
Karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:Seorang yang sedang berihram tidak boleh
menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah. (HR. Muslim)
6. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan
adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang
shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil
diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat
atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau
seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya: Dari
Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad
Ibn Hambal).
Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang
yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam
pernikahan.
Seorang laki-laki yang sah menjadi wali
dalam proses akad nikah menurut ulama Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
1) Bapak
kandung.
2) Kakek.
3) Saudara
kandung laki-laki.
4) Saudara
tiri laki-laki.
5) Anak
saudara kandung laki-laki (keponakan).
6) Anak
saudara tiri laki-laki (keponakan).
7) Paman
(dari pihak bapak).
8) Anak
laki-laki dari paman (sepupu).
9) Hakim.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali
nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak
perwalian atasnya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang artinya: Maka
sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.(HR.
Abu Daud)
c. Saksi nikah
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: Tidak
ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang baik agamanya. Jika
tidak ada kedua hal tersebut, maka akad nikahnya tidak sah. (HR. Ibnu Hiban)
Umar secara tegas
bahkan menyatakan bahwa sebuah pernikahan yang dilakukan tanpa saksi pelakunya
dirajam apabila mereka melakukan wati’ (hubungan suami istri) sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadist yang artinya: Ini kawin gelap dan aku tidak
membenarkan dan andaikata saat itu aku hadir tentu akan kurajam (HR Malik).
Allah
Swt berfirman dalam Ath-Thalaq ayat 2 yang
berbunyi:
Artinya:
Apabila mereka telah mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan
keluar.
Adapun
syarat-syarat menjadi wali adalah:
1) Beragama Islam
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang paling
utama dari saksi sebuah akad nikah adalah keislaman para saksi. Allah Swt
berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 141 yang berbunyi:
Artinya: (yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah
Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat
keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut
memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah
akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman.
2) Taklif
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat
mengatakan bahwa syarat yang kedua dari saksi adalah taklif. Maksudnya adalah
saksi itu termasuk kriteria mukallaf, yaitu ‘aqil (berakal) dan baligh.
a.
Berakal
Berakal atau ‘aqil adalah orang yang berakal, alias waras dan bukan
orang yang kurang akalnya. Telah disepakati jumhur ulama bahwa orang gila tidak
pernah bisa diterima kesaksiannya.
b.
Baligh
Jumhur ulama sepakat bahwa syarat saksi sebuah akad nikah haruslah orang
yang sudah baligh. Sedangkan anak yang belum cukup umur, tidak bisa diterima
kesaksiannya.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Di dalam ayat ini Allah SWT menggunakan istilah rijal (رجال) yang maknanya
bukan sekedar berjenis kelamin laki-laki, tetapi yang lebih kuat pesannya
adalah orang yang sudah dewasa atau minimal sudah baligh. Karena makna rijal
adalah laki-laki dewasa. Kata rijal hanya ditujukan buat laki-laki yang sudah
baligh saja. (Sarwat, 2014)
c.
Adil
Rasulullah Saw. bersabda yang
artinya: Tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang
adil (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
d.
Laki-laki
Shafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa dua orang
yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang
laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. Sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadist yang artinya “Dari Zuhri, bahwa beliau
berkata; telah berjalan sunah dari Rasulullah SAW bahwasannya seorang wanita
tidak boleh menjadi saksi dalam masalah pidana, nikah dan talak. (HR Abu
Ubaidah).
Maka kesaksian wanita
dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat,
khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian
tidak bisa digantikan dengan dua wanita. Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri
berkata, telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan
persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talak.
Namun mazhab Hanafiyah
mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan
posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 282 yang berbunyi:
فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ
مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
Artinya: Jika tak ada dua
oang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
e.
Merdeka
Maka seorang hamba sahaya atau budak tidak sah bila menjadi saksi sebuah
pernikahan. Sebab seorang hamba sahaya atau budak bukanlah orang yang mempunyai
hak dalam sebuah persaksian atau pun dalam sebuah pengadilan. (Sarwat, 2014)
A. Hukum Pernikahan
1.
Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang
sudah mampu dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu
disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka jalan keluarnya
hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir
jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya. (Alfiah, 2011)
Anas Ibnu Malik Radiliyallaahu ‘anhu berkata,”Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami
membujang”. Beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang
sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga dihadapan para Nabi pada
hari kiamat. (HR. Ahmad)
Orang bujang yang sudah
mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan
untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin maka disarankan untuk berpuasa
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist berikut yang artinya: Wahai
para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah,
hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa.
Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw. bersabda:”Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah,
dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah“.
(HR. Bukhari)
(HR. Bukhari)
2.
Sunnah
Rasulullah
Saw. bersabda: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan
golonganku! (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
Yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah
adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada
zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya
yang cukup baik dan kondusif. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan
keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. (Alfiah, 2011)
Dari Abi Umamah bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain
dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani.
(HR. Al-Baihaqi)
3.
Haram
Bagi orang yang tidak
mampu memenuhi tugas sebagai suami, atau orang yang bermaksud terhadap wanita
yang akan dinikahinya.
4.
Makruh
Orang yang tidak punya
kemampuan untuk menikah hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya
rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan
bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita
yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak
suami. (Alfiah, 2011)
5.
Mubah
Orang yang berada pada
posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah
dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu
menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga
tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah
seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah. (Alfiah, 2011)
B.
Prosesi Pra nikah dalam Islam
1.
Meminang (khitbah)
Meminang merupakan permintaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan
untuk melangsungkan pernikahan. Tujuan meminang adalah agar peminang
2.
Mahar (Maskawin)
Pihak suami harus membayar mahar kepada seorang perempuan yang akan
menjadi istrinya. Memberikan mahar hukumnya wajib berdasarkan QS. An-Nisa ayat
4 yang berbunyi:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
C.
Kewajiban Suami-Istri
a.
Kewajiban
Suami
1)
Membayar
mahar
2)
Memberi
nafkah
Allah Swt. berfirman dalam QS. At-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Rasulullah Saw. bersabda “Hak istri atas suami ialah mendapatkan
sandang pangan dari suami itu dengan secukupnya.”
3)
Gaulilah
istri dengan cara yang baik.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-nissa ayat 18 yang berbunyi:
Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang
mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang
pedih.
4)
Laki-laki
itu menjadi pelindung
5)
Berlaku
adil
Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang
istri sedang, sedang ia tidak berlaku adil dia diantara mereka, maka dihari
kiamat ia akan datang dengan pinggang yang miring atau jatuh ke bawah. (HR.
Ashabus Sunan)
b.
Kewajiban
istri
1)
Menaati
suami selama perintah suami itu tidak berlawanan dengan perintah Allah dan Rasulnya, dan berlaku setia
kepadanya.
2)
Menjaga
kehormatan keluarga, baik mengenai harta maupun dirinya.
3)
Bila
istri berlaku masyuz, maka kewajiban suami menjadi gugur.
D.
Muhrim
Muhrim dalam pernikahan adalah perempuan yang haram dinikahi. Perempuan-perempuan
itu diantaranya:
a) Haram dinikah karena hubungan nasab.
Allah Swt. berfirman
dalam QS. An-Nisaa’ ayat 23 yang berbunyi:
حُرّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ
اَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّاتُكُمْ وَ خَالاَتُكُمْ وَ بَنَاتُ اْلاَخِ وَ بَنَاتُ
اْلاُخْتِ. النساء
Artinya: Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan,
Berdasar ayat di atas, dapat
dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab itu sebagai berikut
:
1) Ibu. Yang dimaksud adalah wanita
yang melahirkannya. Termasuk juga nenek, baik dari pihak ayah maupun dari pihak
ibu dan seterusnya ke atas.
2) Anak perempuan. Yang dimaksud adalah wanita
yang lahir karenanya, termasuk cucu perempuan dari pihak laki-laki maupun dari pihak
perempuan dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara perempuan, seayah seibu, seayah saja
atau seibu saja.
4) ‘Ammah, yaitu saudara perempuan
ayah, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
5) Khaalah, yaitu saudara perempuan
ibu, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), dan seterusnya ke bawah.
7) Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), dan seterusnya ke bawah.
b) Haram dinikahi karena ada hubungan sepesusuan
Allah Swt. berfirman
dalam QS. An-Nisa ayat 23 yang berbunyi:
وَ اُمَّهَاتُكُمُ الّتِيْ اَرْضَعْنَكُمْ وَ
اَخَوَاتُكُمْ مّنَ الرَّضَاعَةِ. . النساء
Artinya: Diharamkan atas
kamu ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepesusuan.
Rasulullah Saw.
bersabda :Diharamkan karena hubungan susuan sebagaimana yang diharamkan karena
hubungan nasab. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya para shahabat menginginkan Nabi Saw menikahi anak
perempuan Hamzah. Maka beliau Saw. bersabda, “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku,
karena dia adalah anak saudaraku sepesusuan. Sedangkan, haram sebab susuan itu sebagaimana
haram sebab nasab (keluarga)”. (HR. Muslim)
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwasanya ia mengkhabarkan kepada ‘Urwah, bahwa paman
susunya yang bernama Aflah minta ijin pada ‘Aisyah untuk menemuinya. Lalu ‘Aisyah
berhijab darinya. Kemudian ‘Aisyah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah
SAW, maka beliau bersabda, “Kamu tidak perlu berhijab darinya, karena haram sebab
susuan itu sebagaimana haram sebab nasab”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadits
di atas, dapat dipahami bahwa haramnya wanita untuk dinikahi karena hubungan pesusuan
ini sabagai berikut :
1) Ibu susu, yakni ibu yang menyusuinya.
Maksudnya ialah wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu
bagi anak yang disusui itu, sehingga haram keduanya melakukan perkawinan.
2) Nenek susu, yakni ibu dari wanita
yang pernah menyusui atau ibu dari suami wanita yang pernah menyusuinya.
3) Anak susu, yakni wanita yang pernah
disusui istrinya. Termasuk juga cucu dari anak susu tersebut.
4) Bibi susu. Yakni saudara perempuan
dari wanita yang menyusuinya atau saudara perempuan suaminya wanita yang menyusuinya.
5) Keponakan susu, yakni anak perempuan dari
saudara sepesusuan.
6) Saudara sepesusuan.
c. Haram dinikahi karena hubungan mushaharah (perkawinan)
Allah Swt. berfirman
dalam QS. An-Nisaa’ ayat 23 yang
berbunyi:
وَ اُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَ رَبَائِبُكُمُ الّتِيْ
فِيْ حُجُوْرِكُمْ مّنْ نّسَائِكُمُ الّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَاِنْ لَّمْ
تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَ حَلاَئِلُ
اَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. النساء
Artinya: Ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan)
maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu).
Allah Swt. berfirman
dalam An-Nisaa’ ayat 22 yang berbunyi:
وَ لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَاؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ
سَلَفَ، اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا وَّ سَآءَ سَبِيْلاً. النساء
Artinya: Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh).
Dari dalil-dalil di atas
dapat dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan mushaharah adalah
sebagai berikut :
1) Mertua perempuan dan seterusnya ke atas.
2) Anak tiri, dengan syarath kalau telah
terjadi hubungan kelamin dengan ibu dari anak tiri tersebut.
3) Menantu, yakni istri anaknya, istri
cucunya dan seterusnya ke bawah.
4) Ibu tiri, yakni bekas istri
ayah (Untuk ini tidak disyarathkan harus telah ada hubungan kelamin antara ayah
dan ibu tiri tersebut).
E.
Perceraian