Sabtu, 12 November 2016

makalah agama part 1






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pernikahan
      Pernikahan atau nikah berasal dari bahasa Arab yaitu  an-nikah.  Nikah secara  harfiah  artinya “himpunan” (ad-dammu), “kumpulan (al-jam’u), atau “hubungan intim” (al-wat’u). Nikah secara syar’i adalah akad yang memolehkan  (halal) hubungan intim dengan menggunakan kata ‘ankah tuka’ (menikahkan), ‘zawwajtuka’ (mengawinkan), atau terjemahan keduanya. (Sadi, 2015)
      Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa: Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin  antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
       Ibadah nikah dikatakan sah apabila dipenuhi rukun nikahnya, yakni:
a.       Akad
      Aqad terdiri dari ijab yang berarti perkataan dari pihak wali perempuan, dan qabul berarti penerimaan dari pihak mempelai laki-laki.
Adapun dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz atau kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya: Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim)



b.      Wali calon istri
      Hendaknya seorang wanita dinikahkan oleh walinya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya: Tiada nikah kecuali hanya dengan wali. (H.R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad- Darami)
      Jika wanita menikah sendiri tanpa wali maka nikahnya batal (bathil), sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ
Artinya: Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.
Seorang wali dilarang untuk menghalangi suatu pernikahan sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Baqarah ayat 232 yang berbunyi:
      Artinya: apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka deng an cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
     Seorang wanita tidak dapat menjadi wali atas pernikahan wanita lain, termasuk dalam pernikahannya sendiri, karena seorang wanita menjadi tanggung jawab seorang wali, kecuali wanita pezina. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.(HR. Daruquthni)
      Dengan demikian  seorang wanita yang melakukan kawin lari, artinya tanpa seizin seorang wali, pernikahan tersebut batal. Karena keberadaan wali menjadi rukun dalam proses akad nikah. Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.(HR. Abu Daud)
      Ada beberapa persyaratan untuk menjadi wali secara umum yakni:
1.      Islam
      Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam QS. At- Taubah ayat 71 yang berbunyi:
      Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah Swt berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 28 yang berbunyi:
Artinya: janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
2.      Baligh
      Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: Dari Ali ra. dari Nabi Saw. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya. ( H.R. Abu Daud)
      Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.
3.      Laki-laki
      Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah Saw. yang artinya: Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni ).
4.      Berakal
      Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.
5.      Tidak sedang berihram haji ataupun umrah,
      Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah. (HR. Muslim)
6.      Adil
      Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang artinya: Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).
      Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.
      Seorang laki-laki yang sah menjadi wali dalam proses akad nikah menurut ulama Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
1)      Bapak kandung.
2)      Kakek.
3)      Saudara kandung laki-laki.
4)      Saudara tiri laki-laki.
5)      Anak saudara kandung laki-laki (keponakan).
6)      Anak saudara tiri laki-laki (keponakan).
7)      Paman (dari pihak bapak).
8)      Anak laki-laki dari paman (sepupu).
9)      Hakim.
     Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang artinya: Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.(HR. Abu Daud)
c.       Saksi nikah
      Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang baik agamanya. Jika tidak ada kedua hal tersebut, maka akad nikahnya tidak sah. (HR. Ibnu Hiban)
      Umar secara tegas bahkan menyatakan bahwa sebuah pernikahan yang dilakukan tanpa saksi pelakunya dirajam apabila mereka melakukan wati’ (hubungan suami istri) sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist yang artinya: Ini kawin gelap dan aku tidak membenarkan dan andaikata saat itu aku hadir tentu akan kurajam (HR Malik).
Allah Swt berfirman dalam Ath-Thalaq ayat  2 yang berbunyi: 
      Artinya:  Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.
Adapun syarat-syarat menjadi wali adalah:
1)      Beragama Islam
     Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang paling utama dari saksi sebuah akad nikah adalah keislaman para saksi. Allah Swt berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 141 yang berbunyi:


     Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
2)      Taklif
      Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang kedua dari saksi adalah taklif. Maksudnya adalah saksi itu termasuk kriteria mukallaf, yaitu ‘aqil (berakal) dan baligh.
a.      Berakal
      Berakal atau ‘aqil adalah orang yang berakal, alias waras dan bukan orang yang kurang akalnya. Telah disepakati jumhur ulama bahwa orang gila tidak pernah bisa diterima kesaksiannya.
b.      Baligh
     Jumhur ulama sepakat bahwa syarat saksi sebuah akad nikah haruslah orang yang sudah baligh. Sedangkan anak yang belum cukup umur, tidak bisa diterima kesaksiannya.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
     Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
     Di dalam ayat ini Allah SWT menggunakan istilah rijal (رجال) yang maknanya bukan sekedar berjenis kelamin laki-laki, tetapi yang lebih kuat pesannya adalah orang yang sudah dewasa atau minimal sudah baligh. Karena makna rijal adalah laki-laki dewasa. Kata rijal hanya ditujukan buat laki-laki yang sudah baligh saja. (Sarwat, 2014)

c.       Adil
      Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: Tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

d.      Laki-laki
      Shafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist yang artinya “Dari Zuhri, bahwa beliau berkata; telah berjalan sunah dari Rasulullah SAW bahwasannya seorang wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah pidana, nikah dan talak. (HR Abu Ubaidah).
       Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita. Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata, telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talak.
      Namun mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi seorang laki-laki seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 282  yang berbunyi:
فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
      Artinya: Jika tak ada dua oang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
e.        Merdeka
       Maka seorang hamba sahaya atau budak tidak sah bila menjadi saksi sebuah pernikahan. Sebab seorang hamba sahaya atau budak bukanlah orang yang mempunyai hak dalam sebuah persaksian atau pun dalam sebuah pengadilan. (Sarwat, 2014)
A.    Hukum Pernikahan
1.      Wajib
     Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya. (Alfiah, 2011)
         Anas Ibnu Malik Radiliyallaahu ‘anhu berkata,”Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang”. Beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga dihadapan para Nabi pada hari kiamat. (HR. Ahmad)
     Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin maka disarankan untuk berpuasa sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist berikut yang artinya: Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari)
      Rasulullah Saw. bersabda:”Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah“.  
(HR. Bukhari)

2.      Sunnah
     Rasulullah Saw. bersabda: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku! (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
    Yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. (Alfiah, 2011)
     Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi)

3.       Haram
        Bagi orang yang tidak mampu memenuhi tugas sebagai suami, atau orang yang bermaksud terhadap wanita yang akan dinikahinya.

4.      Makruh
       Orang yang tidak punya kemampuan untuk menikah hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. (Alfiah, 2011)

5.      Mubah
       Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah. (Alfiah, 2011)
B.     Prosesi Pra nikah dalam Islam
1.      Meminang (khitbah)
Meminang merupakan permintaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk melangsungkan pernikahan. Tujuan meminang adalah agar peminang


2.      Mahar (Maskawin)
Pihak suami harus membayar mahar kepada seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Memberikan mahar hukumnya wajib berdasarkan QS. An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:  
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

C.    Kewajiban Suami-Istri
a.       Kewajiban Suami
1)      Membayar mahar
2)      Memberi nafkah
Allah Swt. berfirman dalam QS. At-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Rasulullah Saw. bersabda “Hak istri atas suami ialah mendapatkan sandang pangan dari suami itu dengan secukupnya.”

3)      Gaulilah istri dengan cara yang baik.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-nissa ayat 18 yang berbunyi:
Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.

4)      Laki-laki itu menjadi pelindung
5)      Berlaku adil
Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri sedang, sedang ia tidak berlaku adil dia diantara mereka, maka dihari kiamat ia akan datang dengan pinggang yang miring atau jatuh ke bawah. (HR. Ashabus Sunan)

b.      Kewajiban istri
1)      Menaati suami selama perintah suami itu tidak berlawanan dengan perintah  Allah dan Rasulnya, dan berlaku setia kepadanya.
2)      Menjaga kehormatan keluarga, baik mengenai harta maupun dirinya.
3)      Bila istri berlaku masyuz, maka kewajiban suami menjadi gugur.


D.    Muhrim
Muhrim dalam pernikahan adalah perempuan yang haram dinikahi. Perempuan-perempuan itu diantaranya:
a)      Haram dinikah karena hubungan nasab.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nisaa’ ayat 23 yang berbunyi:
حُرّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّاتُكُمْ وَ خَالاَتُكُمْ وَ بَنَاتُ اْلاَخِ وَ بَنَاتُ اْلاُخْتِ. النساء
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
Berdasar ayat di atas, dapat dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab itu sebagai berikut :
1)      Ibu. Yang dimaksud adalah wanita yang melahirkannya. Termasuk juga nenek, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
2)      Anak perempuan. Yang dimaksud adalah wanita yang lahir karenanya, termasuk cucu perempuan dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan dan seterusnya ke bawah.
3)      Saudara perempuan, seayah seibu, seayah saja atau seibu saja.
4)      ‘Ammah, yaitu saudara perempuan ayah, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
5)      Khaalah, yaitu saudara perempuan ibu, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
6)      Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), dan seterusnya ke bawah.
7)      Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), dan seterusnya ke bawah.

b)      Haram dinikahi karena ada hubungan sepesusuan
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 23 yang berbunyi:
وَ اُمَّهَاتُكُمُ الّتِيْ اَرْضَعْنَكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ مّنَ الرَّضَاعَةِ. . النساء
Artinya: Diharamkan atas kamu ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepesusuan.

Rasulullah Saw. bersabda :Diharamkan karena hubungan susuan sebagaimana yang diharamkan karena hubungan nasab. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya para shahabat menginginkan Nabi Saw menikahi anak perempuan Hamzah. Maka beliau Saw. bersabda, “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, karena dia adalah anak saudaraku sepesusuan. Sedangkan, haram sebab susuan itu sebagaimana haram sebab nasab (keluarga)”. (HR. Muslim)
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwasanya ia mengkhabarkan kepada ‘Urwah, bahwa paman susunya yang bernama Aflah minta ijin pada ‘Aisyah untuk menemuinya. Lalu ‘Aisyah berhijab darinya. Kemudian ‘Aisyah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, “Kamu tidak perlu berhijab darinya, karena haram sebab susuan itu sebagaimana haram sebab nasab”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa haramnya wanita untuk dinikahi karena hubungan pesusuan ini sabagai berikut :
1)      Ibu susu, yakni ibu yang menyusuinya. Maksudnya ialah wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram keduanya melakukan perkawinan.
2)      Nenek susu, yakni ibu dari wanita yang pernah menyusui atau ibu dari suami wanita yang pernah menyusuinya.
3)      Anak susu, yakni wanita yang pernah disusui istrinya. Termasuk juga cucu dari anak susu tersebut.
4)      Bibi susu. Yakni saudara perempuan dari wanita yang menyusuinya atau saudara perempuan suaminya wanita yang menyusuinya.
5)      Keponakan susu, yakni anak perempuan dari saudara sepesusuan.
6)      Saudara sepesusuan.

c.       Haram dinikahi karena hubungan mushaharah (perkawinan)
Allah Swt. berfirman dalam  QS. An-Nisaa’ ayat 23 yang berbunyi:
وَ اُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَ رَبَائِبُكُمُ الّتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مّنْ نّسَائِكُمُ الّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَ حَلاَئِلُ اَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. النساء
Artinya: Ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu).
Allah Swt. berfirman dalam An-Nisaa’ ayat 22 yang berbunyi:
وَ لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَاؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا وَّ سَآءَ سَبِيْلاً. النساء
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Dari dalil-dalil di atas dapat dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan mushaharah adalah sebagai berikut :
1)      Mertua perempuan dan seterusnya ke atas.
2)      Anak tiri, dengan syarath kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu dari anak tiri tersebut.
3)      Menantu, yakni istri anaknya, istri cucunya dan seterusnya ke bawah.
4)      Ibu tiri, yakni bekas istri ayah (Untuk ini tidak disyarathkan harus telah ada hubungan kelamin antara ayah dan ibu tiri tersebut).

E.     Perceraian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar